Burung terbang

Rabu, 22 Agustus 2012

BALADA PEMIRA UMB 2011


BALADA PEMIRA UMB 2011

Pesta demokrasi tingkat universitas yang selayaknya menjadi representasi kedewasaan dan peradaban intelektualitas mahasiswa Mercu Buana belum mampu selamat dari kata 'bentrok' dan tepat peraturan. Pasalnya, saat pencontrengan terdapat beberapa kejanggalan dan keluhan terhadap KPU. Pemira ini pun berakhir pada kisah pilu pembacokan seorang kandidat presiden.

Akhirnya, setelah melewati serangkaian proses yang sempat tersendat, Universitas Mercu Buana menyelenggarakan Pemilihan Raya (Pemira) Mahasiswa 2011 pada Jum'at (17/06) lalu. Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terpilih pada 27 Mei lalu dirombak ulang oleh Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) karena dianggap tidak berhasil menampilkan demokrasi yang seharusnya. Alur pemira kini berjalan tanpa ada 'cerita' aklamasi karena KPU baru yang diketuai oleh Ahmad Fajrin, broadcasting '07, meloloskan dua partai, yaitu Partai Kebangkitan Mahasiswa dengan nomor urut satu dan Partai Kedaulatan Mahasiswa dengan nomor urut dua. Namun, sampai berita ini ditulis belum ada keputusan sah dari MPM mengenai siapa pemenang pemira sesungguhnya. Karena saat malam penghitungan suara, terjadi bentrok yang berujung pada tragedi berdarah.

Ironis, khidmatnya suatu proses demokrasi tampaknya belum bisa dinikmati di menara gading ini. Hal ini terlihat dari bentrok dan kerusuhan yang lumrah terjadi pada beberapa periode pemilu. Kali ini, lagi-lagi terjadi chaos antar partai yang bersaing memperebutkan singgasana Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)-Universitas.

Pada 17 Juni lalu, KPU membagi Tempat Pemilihan Suara (TPS) menjadi tiga titik. TPS 1 berlokasi di bata merah Gedung D untuk Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) dan Fakultas Teknik Perencanaan dan Desain (FTPD). TPS 2 untuk Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) dan Fakultas Teknik Industri (FTI) di Koridor B. TPS terakhir berada di koridor A untuk Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Psikologi (FPsi). Pencontrengan dimulai pukul 08.00 WIB sampai 16.30 WIB.

Pagi hari, Lukman Rudiansyah, Sistem Informasi '07, Calon Wakil Presiden (Cawapres) Kebangkitan yang ditemui sedang berada di TPS 2, mengungkapkan kekecewaannya pada KPU atas beberapa hal. Diantaranya mengenai pemilihan hari Jum'at untuk pencontrengan. Menurutnya hari itu tidak seramai Senin sampai Kamis, hingga audiensnya pun sedikit. Kedua, jumlah surat suara yang sediakan KPU hanya 2.500 lembar. Padahal ada sekitar 6.000 mahasiswa aktif UMB yang berhak memilih. Selain hari itu, pria yang akrab disapa Padang ini juga mengeluh akan minimnya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dari tiap partai di setiap titik TPS. “Pagi-pagi saja sudah ada kotak suara, dikhawatirkan ada penggelembungan suara,” keluhnya. Karena kotak suara belum tersegel dari pagi. “Kebetulan dari partai saya melihat (baca:kotak) belum disegel. Setelah diberi teguran baru disegel,” ungkap Danu Nomiselas, Teknik Mesin '07, Calon Presiden (Capres) Kebangkitan di tempat terpisah.

Kontras dengan Partai Kebangkitan, Ahmad Hafizudin, Akuntansi '07, Capres Kedaulatan memuji kinerja KPU yang ia rasa sudah sangat baik. Menurutnya, demokrasi berjalan sinergis, jujur, adil dan transparan. “Mungkin karena waktunya saja yang mepet,” ujar Hafiz di TPS 03. Menyoal jumlah surat suara, Hafiz memaklumi hal ini. Karena menurutnya, kejadian di tahun-tahun sebelumnya surat suara terpakai tak lebih dari dua ribu lembar. “Malah kurang dari dua ribu suara. Saya dengar dari tim saya, totalnya (baca:surat suara) sekarang 2.500 dan ini menyamakan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya,” jelas Hafiz.

Saat pencontrengan, KPU belum bisa memberikan keterangan untuk mengklarifikasi persoalan tersebut.  Setelah sempat menghilang beberapa waktu, Ahmad Fajrin memberikan keterangan mengenai jumlah surat suara. Pihaknya mengakui soal jumlah surat suara memang sempat simpang siur. KPU sudah merapatkan untuk mengeluarkan sebanyak 3.500 surat suara. “Surat suara yang sudah kita (baca: KPU) distribusikan dan yang kelar setelah sampai jam tujuh pagi itu sebanyak 2.500. Seribunya masih tertahan di tempat print karena masalah waktu,” jelas Fajrin.

Siang hari saat pencontrengan tengah berlangsung, sensitivitas antar massa pendukung partai cukup terasa. Dimana atmosfer ketegangan antar massa pendukung partai sebetulnya sudah terasa saat dua hari sebelum pencontrengan, yaitu pada prosesi debat kandidat. Bahkan Ketua KPU sampai  memindahkan lokasi debat yang semula di aula rektorat ke depan wall climbing sebagai antisipasi chaos. Seperti yang dikemukakan Fajrin pada Orientasi Rabu itu.

Seorang pendukung Kebangkitan, Angkasa Sankladiaz, broadcasting '09, mengeluhkan keberadaan simpatisan partai lawan yang ada di sekitar TPS. Ia mempertanyakan hal ini. Orientasi sendiri tidak melihat Panwaslu sigap menanggapi hal ini. Keberadaan Panwaslu pun sempat dipertanyakan.

Hal ini ditepis oleh Julian Al-Rasyid, ketua MPM yang menyatakan bahwa saat pencontrengan jumlah Panwaslu saat itu sebanyak 24 orang yang terdiri dari anggota MPM, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan partai.  

Selain itu, beberapa mahasiswa mengeluhkan sosialisasi pemira. Seperti yang diungkapkan mahasiswa Broadcasting '09, Lutfi Danovan, “Gue  tahu kalau ada pemira (baca: pencontrengan) dan dari pihak KPU seperti kurang sosialisasi. Karena hampir semua teman-teman yang tidak mengikuti UKM tidak mengetahui bahwa hari ini ada pemira. Tiba-tiba pas hari-H sudah ada pencontrengan saja.”

Kritik akan kurangnya sosialisasi pemira dimentahkan oleh KPU dan MPM. Fajrin atau yang biasa disapa Ipung, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi dengan tiga metode, yaitu pertama metode verbal, publikasi ke kelas-kelas. Menurutnya, anggotanya telah meng-cover hampir seluruh kelas dari gedung A sampai gedung E. “Bahkan sampai abang sendiri pun turun,” bantahnya. “Kedua, menempel-nempelkan. Jelas kita sudah memberitahukan,” tambahnya. Terakhir sosialisasi lewat media radio kampus. “Jadi kalau ada yang bilang kurang sosialisasi, ya tolong, janganlah berdusta,” imbuh pria asal palembang ini, geregetan.

Setali tiga uang dengan Ipung, Ketua MPM pun menganggap bahwa sosialisasi pemira 2011 inilah yang paling baik sejak 2005. “Sosialisasi jauh lebih besar dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Pertama MPM sudah memasang banner, KPU yang awal pun sudah melakukan proses sosialisasi. Kalau sosialisasi, tidak perlu jadi bahan perdebatan,” pungkas pria yang biasa dipanggil Ijung ini tenang.

Selain itu, ada pula kejanggalan pada prosedural perekrutan anggota KPU. Menurut Ijung, dalam AD/ART, anggota KPU adalah mahasiswa minimal semester 4. Namun saat pencontrengan, ada anggota KPU yang masih berstatus mahasiswa angkatan 2010, alias mahasiswa semester 2. Seperti yang Orientasi temui pada malam penghitungan suara di TPS 1. Karlina  anggota KPU yang bertugas mencatat hasil surat suara di TPS itu adalah mahasiswa Sistem Informatika angkatan 2010 yang mengenakan kemeja hitam, sama seperti yang dikenakan ketua KPU. Saat ditanya mengenai ini, Ijung kaget dan mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin. Justru ia menegaskan pada saya mungkin karlina anggota Komisi Panitia Pemungutan Suara (KPPS). Saat pemilihan, anggota KPPS adalah yang memakai almamater. Sedangkan anggota KPU mengenakan seragam kemeja hitam. “Mungkin saja saat itu dia gerah dan ganti baju,” pledoi Ijung.

Beragam persoalan di atas tidak menjadi tanda titik bagi konflik pemira tahun ini. Alur kisah pemilu ini semakin klimaks pada malam perhitungan suara. Setelah molor hampir dua jam dari jadwal yang ditentukan, penghitungan suara dimulai di masing-masing TPS dengan dihadiri 5 orang saksi. Masing-masing datang dari perwakilan partai kedaulatan, partai kebangkitan, KPU, KPPS, dan Panwaslu. Serta tak kurang dari dua orang satpam berjaga di tiap TPS. Namun tidak terlihat perwakilan Dirmawa pada malam itu. Hal ini disayangkan oleh Ijung sebagai ketua MPM. Menurutnya, seharusnya Dirmawa hadir minimal satu orang saja. Setidaknya itu bisa meminimalisir bentrokan.

Hasilnya, TPS 1 didominasi oleh Partai Kedaulatan dengan perolehan 369 suara, 171 suara untuk Partai Kebangkitan dan suara tidak sah berjumlah 45 suara. Hasil berbeda didapat di TPS 2. Partai Kebangkitan menang dengan perolehan 369 suara, mengalahkan 19 suara untuk Partai Kedaulatan. Sebanyak 80 surat suara tidak sah harus dibuang. Kontroversi terjadi di TPS 3 yang menjadi bakal bentrokan pada malam itu. Di TPS itu partai nomor 2 unggul dengan 415 suara dan  partai nomor 1 mendapat 86. Suara tidak sah sebanyak 111 suara, hingga total suara 612. Ketika data diverifikasi ternyata terdapat total surat suara yang dihitung jauh melampaui database yang semula dikatakan KPU berjumlah 523, ternyata hanya ada 323 suara yang ditandai dengan Stabilo dan spidol. Kejadian ini menuai pertanyaan kritis dari mahasiswa yang hadir di tempat itu. Setidaknya ada selisih 289 suara yang lebih. Belum selesai data diverifikasi ulang melalui absen, keadaan berubah ricuh.


Penghitungan yang berakhir ricuh
Ketua KPU menjelaskan kronologi yang terjadi pada malam itu. Menurutnya, awal kejadian ada yang memprotes KPU tentang ketimpangan suara. Ada yang menanyakan jumlah database pemilih dan juga menanyakan jumlah surat suara yang terpakai. “Jadi dia menanyakan hal-hal yang sekiranya ada di masa banding,” tutur Ipung. Masih menurut Ipung, jika ada yang ingin berkomentar mestinya dilakukan pada hari banding. Jadi tidak di hari-H.

Saat itu, saksi berhak memprotes atau mengkritisi surat suara yang sah atau tidak. “Tapi kalau mulai registrasi (baca: database) dan segala macam di luar itu, kami (baca: KPU) tidak boleh. Karena dari situ sudah mulai keluar dari koridor yang diharuskan,” jelas Ipung. Ia kembali bercerita, “Ketika dia menanyakan itu tiba-tiba segerombolan datang dan saya pun tidak mengenal gerombolan itu darimana,” tambahnya. Ia tidak ingin menjastifikasi siapa dan dari mana orang-orang itu berasal. “Yang pasti dia (baca: pemrotes) datang dengan tujuan baik, tapi caranya saja yang salah,” ungkapnya.

Ipung mengungkapkan bahwa pemrotes tersebut menggebrak bangku dan meja. Sampai akhirnya datang partai nomor dua dengan merayakan kemenangannya. Seketika itu terjadi gesekan. “Yang tadinya para pemrotes ini memrotes KPU dan akhirnya pecah. Langsung melempari bak sampah. Gue langsung lari, karena gak tahu siapa lawan dan siapa kawan,” tuturnya. Ia melihat banyak orang yang memegang batu dan balok untuk memukul siapa saja . Saat keadaan ricuh, ia keluar melewati gerbang di depan koridor A.

Bentrokan terjadi sekitar pukul 22.00 WIB. Ditemui di pos pengaman, Rommy mengaku telah mengantisipasi bentrok antar partai. Hingga terdapat dua orang petugas pengaman di tiap TPS. Pada malam kejadian, 12 orang satuan Pengaman (Satpam) tidak sanggup meredam aksi massa tersebut. kemudian, Ia menghubungi Polsek Kembangan untuk meminta bantuan menenangkan warga. Tetapi mereka tidak boleh memasuki wilayah kampus. Rommy menerangkan bahwa malam itu ia juga hampir bertengkar dengan warga. Karena warga ingin masuk kampus.

Anggota Kanit Intelkom Polsek Kembangan, Yusuf, membenarkan bahwa saat itu pihaknya datang ke UMB. Namun tidak masuk ke dalam kampus. “Sebatas di luar kampus,” jelasnya. Karena itu bukan wewenang pihak kepolisian. Jum'at malam itu, seluruh anggota kapolsek datang dipimpin Kompol Sutoyo sebagai Kapolsek, petugas berjumlah sekitar 24 orang, sempat hadir pula wakapolrek kebun jeruk. Ketika polisi datang sudah banyak batu berserakan. Pihaknya mengingatkan dan menghimbau warga dan mahasiswa agar tenang dan tidak ribut. Keadaan mulai kondusif sekitar pukul 00.00 WIB.
BentrokPart II   
Selesainya mediasi dengan polisi, rupanya tidak menyurutkan hasrat mahasiswa untuk bertarung. Dini harinya, sekitar pukul 02.00 WIB, ada serangan masuk dari pagar koridor A. diperkirakan sekitar 50 orang yang berusaha masuk. Namun mereka berhasil diusir satpam. Rommy melihat massa itu membawa balok dan kayu-kayu. Sayangnya, ada yang masuk dengan meloncati pagar. Karena orang yang terlalu banyak, satpam tidak mampu mengontrol keadaan tersebut. Massa langsung masuk ke dalam, dan satpam menelepon polisi kembali. Lagi-lagi petugas tidak berani masuk ke dalam kampus. Rommy menyebutkan massa tersebut hampir berjumlah seratus orang. Keadaan yang gelap menambah ketidakjelasan identitas massa. “Yang jelas (baca: massa) mahasiswa,” terang Rommy.

Ia menambahkan bahwa peristiwa itu berlangsung sebentar, tidak sampai sepuluh menit. Saat massa masuk ke dalam, Komandan Peleton (Danton) security ini berusaha menyetop massa yang lain. Peristiwa itu mengakibatkan Lukman, Cawapres nomor 1 menderita luka bacok samurai. Ditemui Orientasi di bata merah , Lukman menceritakan tragedi berdarah itu. Dini hari itu, ia bersama rekannya mahasiswa Fikom, Teknik Informatika dan Sistem Informasi serta alumni, yakni Hadi Saputra dan Yus Sangaji, yang tak lebih dari 20 orang, di bata merah mencoba mengklarifikasi masalah pada massa yang datang beramai-ramai agar tidak terjadi keributan. “Tapi mereka tetap kekeuh, dengan sudah membawa samurai, bambu, dan balok, mereka menyerang. Mereka maju, dan gue kabur ke bata merah kemudian turun ke atrium.”

Ia menceritakan, pada saat itu ia beberapa kali mencoba melarikan diri dari orang-orang yang berada di sudut atrium. Bersama seorang temannya mereka berdua mencoba menerobos massa. Setelah berhasil lolos, ia mencari alat untuk keselamatan diri. Bangku di stan psikologi menjadi tamengnya untuk menghalau samurai. Sempat menghalau serangan dua sampai tiga menit, “tiba-tiba belakang gue kena benda tajam, karena mereka makin banyak masuk ke dalam stand, gue jatuh disitu. Tameng gue cuma bangku putih.” Tidak lama, ia bangkit menghalau massa dengan kondisi tangan baret. Setelah itu ia lari ke tangga lab elektro, tapi ada kelompok itu lagi. Sampai ia dilindungi oleh Hafis, TI '07, alumni pun datang.

Akhirnya, ia dievakuasi lewat parkiran belakang oleh rekan-rekannya, Dimas, Chandra, Esa, dan Leo.  Lukman dilarikan ke rumah sakit Siloam, Jakarta Barat. Ia mendapat 16 jahitan di bagian belakang kepala, jari tangan, dan lengan. Dirmawa membiayai segala pengobatan korban bacok ini. Peristiwa tanggal 17 dan 18 Juni ini membuat pihak kampus membuat mediasi antar kedua belah partai yang bertikai. Rabu, Tanggal 22 Juni lalu digelar pertemuan yang dihadiri oleh Dirmawa yang diwakili oleh Endi Rekarti sebagai direktur, Rahman, Ghazaly Ama La Nora sebagai chief security, tokoh masyarakat Mahmud,  wakil lurah, FBR, Forkabi dan unsur-unsur kepemimpinannya dan pemuda-pemuda. Serta, kedua belah partai. Seperti yang dijelaskan oleh Ghazaly di Ruangannya Kamis (30/06) lalu .Menurutnya, sementara kasus Lukman ini ia pending terlebih dahulu untuk dilempar ke kepolisian. “Saya masih mampu menangani ini,” ujar Ghazaly. Ia mencoba menyelesaikan secara internal dahulu.

Sesuai surat edaran rektor mengenai penyelesaian kejadian tanggal 17 dan 18 Juni lalu, salah satunya adalah kedua belah pihak yang bertikai telah bersepakat untuk berdamai. Edwin Van Isak Maahalay, ketua Partai Kedaulatan, mengakui partainya telah berdamai. Pun dengan Billy, Capresnya, menegaskan bahwa sudah tidak ada pertikaian. Ditanyai mengenai kemungkinan massa pendukungnya yang melakukan penyerangan dini hari, ia pun tidak tahu sekaligus tidak bisa menjamin jika bukan partisipannya yang terlibat. Ia menerangkan bahwa saat chaos pertama terjadi, Ia ada di Bata Merah dan langsung pergi ke tempat temannya.

Mengenai mediasi, Lukman mengaku surat edaran rektor yang dipajang di mading-mading kampus, redaksionalnya berubah dan baginya itu tidak lengkap seperti mediasi yang dihadirinya di Saung Abah, Rabu lalu. Ia menyayangkan saat itu pihaknya tidak ada yang mencatat. Lukman mengatakan bahwa dia memberikan waktu selama dua minggu setelah kejadian bagi kampus untuk menyelesaikan kasus penyerangan atas dirinya.  “Sampai saat ini, kasus saya masih digantung. Tidak ada kejelasan..susah banget mencari keadilan di kampus ini” keluh pria berambut panjang ini. Merasa kecewa, Jum'at (01/07) lalu, Lukman telah melakukan visum di rumah sakit Siloam dengan surat pengantar dari polsek Kembangan untuk keperluan aduannya ke polres nanti. Menurut Cawapres kebangkitan ini, kasus ini sempat dilempar oleh kapolsek Kembangan karena ruang lingkup universitas sudah masuk kepada tingkatan yang lebih besar, yaitu polres. Namun, sesampainya di polres Jakarta Barat, kasusnya dinilai sudah cukup lama dan basi.

Akhirnya ia tetap membulatkan tekatnya untuk melimpahkan kasusnya ke pihak yang berwajib. Karena baginya, kampus seolah menutupi dan tidak mau membuka kasus ini lebih jauh. Belum ada tindakan tegas dari kampus untuk mencari dan memberi sanksi pada pelaku. Rabu (06/07) lalu, Lukman menunjukkan surat laporannya pada kapolres atas kasus “pengeroyokan” pada Orientasi.

Kisruh Pemira tahun ini merupakan yang terbesar sekaligus dengan kerusakan yang paling sedikit. Itulah yang dinyatakan oleh Rommy, petugas keamanan. Berbagai pihak sangat menyayangkan peristiwa yang mencoreng pesta demokrasi ini. Mulai dari para kandidat, security, KPU, MPM, mahasiswa-mahasiswa UMB, sampai kepolisian.  Mengutip salah satu dari harapan-harapan untuk pemira selanjutnya, Ipung, ketua KPU berharap,“semoga, siapapun yang terpilih nanti bisa menjadikan UMB lebih baik.”
Dewi Ananda dan Yogarta Awawa

 
Edited Design by Ali Nardi | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes