Lembaga Kemahasiswaan, Merangkak menuju Dewasa
Sistem Pemerintahan dalam kampus adalah langkah pembelajaran mahasiswa dalam menjalankan Demokrasi, namun rasanya sejauh ini Lembaga Mahasiswa masih jauh dari kata ideal.
Kegiatan mahasiswa merupakan syarat untuk mendirikan Perguruan Tinggi sesuai dengan tri dharma perguruan tinggi, sebab tidak hanya tenaga professional yang akan dihasilkan, namun juga para calon pemimpin bangsa.
Dalam kampus, kegiatan mahasiswa diramu menjadi banyak sekali jenisnya, mulai dari kegiatan bersifat hobi, hingga kelembagaan mahasiswa yang dulu dikenal sebagai Dewan Mahasiswa (Dema), namun pada pertengahan orde baru Dema mulai kehilangan tajinya, tidak seperti dekade-60-an, Dema tidak lagi dianggap sebagai representatif suara rakyat. Hal ini tentu bukan tanpa sebab, pemerintahan orde baru secara rapih melakukan 'penertiban' mahasiswa sebagai langkah stabilisasi politik Negara, maka dari itu turun Surat Keputusan (SK) Menteri Pedidikan dan kebudaya (Mendikbud) tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi kampus (NKK/BKK), ini ditetapkan pada tahun 1977/1978, pasca peristiwa Malari tahun 1974.
Lalu Universitas Mercu Buana (UMB : setelah tahun 1989) yang dulu bernama AWD (1981-1988) memulai Lembaga Kemahasiswaan dengan mengguanakan pola NKK/BKK dengan diketuai oleh Pembantu Rektor III (Purek III) dengan anggotanya adalah mahasiswa yang ditunjuk langsung oleh Purek III. Menilai NKK/BKK adalah sebuah tindakan represif pemerintahan untuk mematikan mahasiswa, maka pada tahun 1987 NKK/BKK dirubah dengan pola baru, yakni Badan Pelaksana Kegiatan Mahasiswa (BPKM) yang sebenarnya diambil dari konsep Dema dan NKK/BKK dan diketuai oleh Willy Suherman. Kemudian Edinarto dan Santoso Selaku Pendiri dan Pimpinan AWD kembali menyusun pola baru dengan menerapka sistem Pola Pembinaan Mahasiswa (POBBINAWA), menanggapi SK Mendikbud tentang peubahan NKK/BKK menjadi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), tidak terlalu menjadi rumit, karena POBBINAWA dianggap hampir menyerupai model SMPT.
Pada perjalanannya setelah Indonesia yang terlepas dari orde baru mulailah gembar – gembor tentang reformasi 'gaung' di Indonesia. Sistem orde baru yang dianggap merenggut kebebasan dan disebut otoriter, dirubah menjadi sistem demokrasi, Indonesia menggeliat dan bangun untuk segera melangkah menuju Negara dengan asas demokratis. Begitu pula dengan kehidupan kelembagaan mahasiswa yang menggunakan sistem demokrasi ala mahasiswa, kelembagaan mahasiswa kini santer disebut sebagai Student Government dengan pejabat mahasiswa yang dipilih secara langsung untuk akhirnya duduk di kursi eksekutif (baca:presiden mahasiswa) atau legislatif (ketua MPM).
Perubahan sistem tentulah tidak serta merta merubah fungsi dari student government secara fundamental . sistem yang berubah, hanyalah sebuah wahana pembelajaran mahasiswa dalam menjalankan kedewasaan bangsa terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Dimana banyak kita temui kebobrokan sistem negara yang malah lebih parah, Demokrasi yang menjungjung tinggi nilai – nilai sportifitas dan dimana rakyat memiliki kedaulatan tertinggi karena secara teori demokrasi sering digembar – gemborkan dengan jargon, dari, oleh, untuk rakyat, sementara secara implementatif para pegiat potlitik yang sedang menjalankan demokrasi malah senantiasa mengkhianati rakyatnyadan semata – mata hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok(kasus belakangan, yang diangkat dalam dialog metro tv tentang wakil rakyat ternyata wakil partai politik). Sehingga kelembagaan mahasiswa yang dibuat menjadi pola sebuah Negara sudah seharusnya menyajikan demokrasi secara ideal dan tidak melakukan praktik kotor dalam prosesnya.
Rohandi, mantan ketua Senat Mahasiswa periode 1998/1999 menyatakan bahwa kampus ini mengadakan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) adalah sebagai langkah pembelajaran mahasiswa agar dapat melakukan aktivitas yang membangun kemandirian dan keorganisasian mahasiswa, dengan semangat reformasi yang menjalankan demokrasi dan menjadi laboratorium keorganisasian mahasiswa.
Ia pun menambahkan, bahwa SG yang ideal: dimana mereka(mahasiswa yang sedang duduk di SG) dapat menjalankan fungsinya secara tepat, dimana legislatif memiliki sebuah kitab perundang undangan keorganisasian(Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga), maka haruslah dijalankan sesuai dengan aturannya. Penurunan SG saat ini bukanlah dikarenakan sebuah sistem atau penurunan situasi mahasiswa , karena saat ini mahasiswa kurang mendalami filosofi dari kelembagaan itu sendiri, “ saya yakin, kalau mereka memahami filosofinya sendiri, organisasi ini akan menjadi organisasi yang idealis, dan menjadi panutan,” imbuh pria yang juga staff Direktorat Kemahasiswaan UMB.
Selaras dengan Rohandi, Julian Al-rasyid selaku ketua MPM periode 2010-2011 menyatakan bahwa SG yang ideal adalah dimana AD/ART dapat dijalankan dengan baik karena pembentukan AD/ART adalah sebuah aturan representatif mahasiswa, karena dibuat, dari, oleh dan untuk mahasiswa, dimana itu adalah sebuah langkah dalam rangka menjungjung tinggi asas demokrasi sehingga dapat mejadi jembatan aspirasi mahasiswa, hingga akhirnya SG adalah sebuah keorganisasian yang murni tanpa campur tangan rektorat, ia pun menyinggung pemerintahan sebelumnya adalah pemerintahan yang inkonstitussional, dimana waktu itu SG melewati batas masa jabatan, “jadi jelas itu inkonstitusional,” tukasnya.
Endi Rekarti selaku Kepala DIRMAWA menilai bahwa SG adalah sebuah wadah pembelajaran mahasiswa dalam berorganisasi, memang didalam SG sendiri mengimplementasikan asas demokrasi, dari, oleh, dan untuk mahasiswa, namun terjadi definisi yang salah kaprah disini, menurutnya SG memang berada di non-struktural kampus namun tetap saja yang member legalitas adalah kampus, “seakan – akan Presma Setara dengan Rektor,” ujar pria berperawakan kecil ini. Lagi pula ORMAWA selalu ada dibawah bimbingan dan lindungan rektor. Lagi pula masih banyak yang harus dibenahi, terutama keterwakilan mahasiswa dalam kebijakan ormawa sendiri perlu dipikirkan.
Dari pengamatan beberapa bulan ini, Endi mengakui banyak mahasiswa yang masih bingung, dan tidak memahami untuk menyuarakan aspirasinya,”harusnya ini menjadi tolok ukur keberhasilan,” ujarnya. Mahasiswa Public Relation '05, Arif Setiadi angkat bicara menurutnya SG di UMB masih tertatih – tatih, itu dikarenakan kurangnya rasa memiliki dari mahasiswa, dan begitu banyak mahasiswa yang apatis saat ini, menurutnya SG memang organisasi yang mengakomodir aspirasi mahasiswa, namun karena pada realitanya kepedulian mahasiswa terhadap SG sendiri begitu minim, yang akhirnya membuat SG tersebut berjalan tertatih, “banyak faktor yang membelenggu, diantaranya adalah pemikiran personal mahasiswa yang menjadikannya apatis,” ujar pria yang lebih suka disebut seorang demonstran ini. julian arrasyid pun membenarkan hal itu, menurutnya dewasa ini mahasiswa terlalu apatis, “mereka lebih mencintai tugas kuliahnya,” ujar pria yang biasa disapa ijung itu mengeluh.
Selain kurangnya perhatian mahasiswa terhadap organisasi kekinian, banyak hal yang membuat SG tidak dapat berjalan secara stabil, seperti yang dipaparkan oleh Rohandi, menurutnya saat ini SG masih belum sempurna, idealnya dalam menjalankan demokrasi haruslah ada trias politika yakni lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Dimana setiap lembaga memiliki kewenangan yang berbeda namun berkorelasi,”dimana badan eksekutif adalah pelaksana UU yang telah diusulkan pada legislatif,” paparnya. Sementara tugas dan wewenang lembaga yudikatif, masih belum terpikir,”namun saat ini, kewenangan tersebut diambil oleh MPM,” tambahnya. Endi Rekarti menolak pernyataan itu, menurutnya posisi yudikatif diambil alih oleh pembina, supaya jelas tindakan dari segala macam pelanggaran,”bila ada anggapan SG/Presma sama dengan rektorat, itu sama saja ada negara dalam negara,” tuturnya. masih menurutnya mahasiswa pun harus lebih jeli dalam mengartikan kebebasan berdemokrasi, dan independensi kelembagaan mahasiswa, “mahasiswa memang punya indenpendensi, tapi tetap ada batasannya,” jelasnya. Kadang – kadang SG berteriak atas nama mahasiswa,”mahasiswa mana dulu, nih?” ujarnya menyindir. Asumsi Endi tadi selaras dengan kondisi SG kekinian, Ketua UKM Swatala, Ratno Dwi Kurniawan membenarkan adanya kepentingan golongan dalam tubuh SG,”seperti ada gap antara BEM sama MPM, ada satu komunitas yang mau menguasai, dan 'membajak satu kelembagaan, hingga didominasi sama satu jurusan tertentu,” jelas pria yang juga sempat bergabung dengan BEM-Universitas.
Gigih pun menambahkan, sebaiknya SG benar – benar menjalankan tri dharma perguruan tinggi agar tetap bisa berperan secara intelek dan menjaga semangat kreatifitas mahasiswa, juga mengayomi masyarakat ,”karena tidak bisa dipungkiri, kita butuh support dari masyarakat sekitar, dan menghilangkan kesenjangan,” ujarnya tenang. (Dimas Aditya P., Sri Noviyanti)