Burung terbang

Rabu, 22 Agustus 2012

Langkah Kecil Pemuda Riau, Taklukan Asia Pasifik


Langkah Kecil Pemuda Riau, Taklukan Asia Pasifik

“menggila lah bersama dunia. Orang takut pasti kalah dengan yang berani. Orang berani pasti kalah dengan orang nekat. Orang nekat hanya bisa kalah dengan orang yang gila. Yang penting out of the box,”

Muhammad Yuhdi, seorang pengusaha software, pasti ada di dalam rumah besar itu. Dari luar, sebuah mobil Luxio berwarna abu-abu telah terparkir. “Rumah ketiga dari ujung, kalau lihat Luxio terparkir berarti dia ada di rumah,” ujar seorang sahabat yang menuntun tim Orientasi menuju kediaman yang disebut Wahyudi sebagai workshop. Benar saja, karena seorang lelaki kemudian membukakan pintu. Bukan, itu bukan Yudi, sapaan akrab Muhammad Yuhdi, karena ia mulai menyibukkan diri di dapur. Sementara waktu terus berputar, spekulasi bagaimana sosok seorang yang telah membesarkan perusahaan software bernama Spectra Multimedia itu, seolah telah berkoalisi dengan detakan jarum jam untuk mengisi kesunyian di ruang yang berisi sofa empuk dan layar LCD tersebut. Apakah ia seorang yang tambun, gagah, ataukah seorang yang berbadan tegap dan bidang bak kontestan pemilihan susu berenergi? Namun, semua itu terjawab ketika sosok pria berkemeja hitam dan bercelana pendek menuruni sekitar sepuluh anak tangga dari sisi kiri dimana sofa empuk itu bernaung. “Kita ngobrol di atas aja ya,” ujarnya memecah kesunyian kala itu sederhana.

Kesigapannya berjalan terhenti di sebuah dak luas berisi tenda dengan tempat duduk nyaman yang terletak di lantai tiga rumah milik pria 33 tahun itu. Rumah yang dijadikan tempat 'bertapa' bagi sembilan karyawan Spectra untuk mengembangkan inovasi ini merupakan salah satu wujud kesuksesan kariernya sebagai wirausahawan. Bermula ketika seorang teman yang menawarkannya sebuah project untuk membuat animasi sebanyak 80 judul. Pria alumni Universitas Mercu Buana (UMB) '94 ini pun memberanikan diri untuk menggarap project bernilai total 200 juta tersebut, sehingga nama Spectra Multimedia pun lahir. “Gue bikin 12 tim yang satu timnya terdiri dari 3-4 orang anak UMB bahkan dosennya,” terangnya. Karena tidak puas dengan kerja tim tersebut, walhasil project tiga bulan itu digarapnya seorang diri.
Asap rokok yang dimainkan Yudi kala itu terus menari ke udara bersamaan semilirnya angin siang hari. Mataharipun dengan gagahnya menunjukkan kekuatannya. Kekuatan seperti itulah yang ditunjukkan Yudi dalam memainkan strategi pasar. Dengan dalih mendapatkan branding, Yudi membawa Spectra mengikuti lomba tingkat nasional yang diselenggarakan Depkominfo awal tahun lalu. Gelar juara yang diraih membawanya ke tingkat Asia Pasifik.  Sehingga nama Spectra Multimedia mulai diperhitungkan. “Menurut gue itu awal kesuksesan Spectra,” tuturnya sembari menenggak teh segar yang bongkahan esnya mulai mencair oleh panasnya matahari. Bukan suatu keberuntungan, karena keunikan software yang diciptakan menarik para juri saat itu. “keunikan software gue karena editable. Jadi user bisa mengganti-ganti konten aja sesuai keinginan,” ungkapnya santai. Kini, perusahaan itu menjadi salah satu pembuat software pendidikan di Indonesia.
Tiupan kencang angin tak menggoyahkan tubuh kecilnya. Mungkin karena beban telepon genggam yang lebih besar dari biasanya, mampu menahannya tetap di tempat. Tak banyak yang dapat mengira bahwa pria dua anak ini berasal dari Riau, karena gaya bahasa yang kental dengan logat Betawinya. Namun di daerah itulah ia menorehkan masa kecilnya. Sosok Yudi kecil memang belum memperlihatkan arah minat sesungguhnya. “Awalnya gue pengen jadi peneliti,” tuturnya. Bagi pria yang senang membaca buku psikologi ini, hidup di daerah mempunyai kelebihan tersendiri. Karena ia bersama teman-teman kecilnya mempunyai kebebasan untuk bermain dan mengenal budaya Indonesia lebih jauh. “Gue bersyukur bisa main di rumputan babi, main perang-perangan. Karena disitulah yang membuat kreatifitas gue jalan,” ungkapnya sambil menerawang masa lalunya. Seperti ingin agar tim Orientasi ikut masuk ke lorong waktu masa kecilnya, iapun mengandaikan suasana daerahnya seperti di film Laskar Pelangi. Nampaknya sukses penggambarannya.
Hidup di keluarga yang terbilang cukup, anak kedua dari lima bersaudara ini dahulu mengenyam dua pendidikan dasar sekaligus. “Karena Ibu orang NU (Nahdatul Ulama), makanya disekolahkan pula di madrasah Ibtida'iyah waktu sore harinya,” ungkapnya. Bekal agama yang diterimanya semasa kecil ternyata turut melengkapi jalan hidupnya. “Awalnya niat masuk elektro. Enggak tahu kenapa, malah terpilih di informatika. Gue pikir pasti Tuhan punya jalan lain yaudah gue jalanin aja,” imbuhnya. Tak terasa, sampah puntung rokok ternyata mulai membanjiri dak bersemen itu.
Kecepatannya berbicara memang seolah sedang mengamati rally Moto GP dengan Valentino Rossi sebagai  jagoannya. Beruntung dua makhluk tak bernyawa ini, puntungan rokok dan segelas teh manis, berhasil memberikan jeda untuknya, dan kembali bernostalgia. Yudi kecil yang mulai beranjak remaja itupun melanjutkan pendidikannya di SMPN 1 Riau. Kemegahan kota Jakarta yang membuat siapa saja terpanah oleh gemerlapnya kota metropolitan itupun turut mengenai hati Yudi. Hingga lulus SMP ia merantau bersama teman sejawatnya ke Jakarta. Tetapi apa daya, kualitas yang diharapkan lebih baikpun hanya dongeng belaka. Sebuah Sekolah Teknik Menengah (STM) di Kebon Jeruk dipilihnya sebagai tempat melanjutkan pendidikan formal. Namun, tak seformal sistemnya, iapun menjalani hari-hari sekolah dengan carut marut. “Datang, absen, cabut ke Gramedia,” tuturnya. Namun disanalah ia melihat surga dunia. “Gue baca banyak buku disana, apalagi buku-buku psikologi, agama, pergerakan,” tuturnya. Pengaruh besar kental terasa saat ia masuk ke ranah universitas.
UMB membawanya pada satu titik dimana ia menemukan kemampuan dirinya, dan mengembangkannya. Mengaku karena kecelakaan politis sehingga menjadi ketua himpunan mahasiswa teknik informatika (himti)  selama 1,5 periode ini, Sang perantau yang awalnya tidak biasa menghadapi orang justru 180 derajat berubah. Tanggung jawabnya saat itu yang mengharuskan ia berhadapan dengan beragam insan. Entah harus berucap syukur atau menyesal karena saat itu jurusan dimana ia bernaung sedang di ambang batas. “Jurusaan ini (informatika) ibarat janin yang hendak digugurkan oleh kampus. Cuma kita lahirkan kembali dengan cara bikin kegiatan,” kenangnya. Putar otak bahkan banting tulang mereka tak kalah seru dengan kebingungan seorang Ayah yang harus mencari nafkah bagi keluarganya. Mulai dari promosi jurusan Teknik Informatika hingga ke ujung Tangerang, sampai menghelat pameran karya-karya mahasiswa Informatika. Pengalamannya mengatur sistem, baik manusia maupun program, menghasilkan buah paling berharga bagi dunia kerja. “Di dunia kerja kita memantaince orang-orang di bawahnya, sulit kalau tidak terbiasa,” tambahnya. Mengenal karakter masing-masing orang juga menjadi bekal untuknya saat ini. Buku-buku psikologi serta sisi feminis yang dimiliki terbukti cukup mempunyai andil baginya. “Gue lebih sensitif dari kebanyakan cowok. Tapi karena sensitif itulah gue bisa mengetahui selera orang,” akunya.
Tak terasa adzan Dzuhur menyelimuti seantero komplek Kejaksaan kala itu. Kini sukses karier telah menemani hidupnya. Ucap syukur juga tersirat dari matanya yang tajam. Gelas yang telah kosongpun sudah terisi kembali. Ada satu pencerahan dari kata-kata yang terangkai dalam ucapannya, “menggila lah bersama dunia. Orang takut pasti kalah dengan yang berani. Orang berani pasti kalah dengan orang nekat. Orang nekat hanya bisa kalah dengan orang yang gila. Yang penting out of the box,” tutupnya. (Ayu Tri Lestari)

BALADA PEMIRA UMB 2011


BALADA PEMIRA UMB 2011

Pesta demokrasi tingkat universitas yang selayaknya menjadi representasi kedewasaan dan peradaban intelektualitas mahasiswa Mercu Buana belum mampu selamat dari kata 'bentrok' dan tepat peraturan. Pasalnya, saat pencontrengan terdapat beberapa kejanggalan dan keluhan terhadap KPU. Pemira ini pun berakhir pada kisah pilu pembacokan seorang kandidat presiden.

Akhirnya, setelah melewati serangkaian proses yang sempat tersendat, Universitas Mercu Buana menyelenggarakan Pemilihan Raya (Pemira) Mahasiswa 2011 pada Jum'at (17/06) lalu. Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terpilih pada 27 Mei lalu dirombak ulang oleh Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) karena dianggap tidak berhasil menampilkan demokrasi yang seharusnya. Alur pemira kini berjalan tanpa ada 'cerita' aklamasi karena KPU baru yang diketuai oleh Ahmad Fajrin, broadcasting '07, meloloskan dua partai, yaitu Partai Kebangkitan Mahasiswa dengan nomor urut satu dan Partai Kedaulatan Mahasiswa dengan nomor urut dua. Namun, sampai berita ini ditulis belum ada keputusan sah dari MPM mengenai siapa pemenang pemira sesungguhnya. Karena saat malam penghitungan suara, terjadi bentrok yang berujung pada tragedi berdarah.

Ironis, khidmatnya suatu proses demokrasi tampaknya belum bisa dinikmati di menara gading ini. Hal ini terlihat dari bentrok dan kerusuhan yang lumrah terjadi pada beberapa periode pemilu. Kali ini, lagi-lagi terjadi chaos antar partai yang bersaing memperebutkan singgasana Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)-Universitas.

Pada 17 Juni lalu, KPU membagi Tempat Pemilihan Suara (TPS) menjadi tiga titik. TPS 1 berlokasi di bata merah Gedung D untuk Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) dan Fakultas Teknik Perencanaan dan Desain (FTPD). TPS 2 untuk Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) dan Fakultas Teknik Industri (FTI) di Koridor B. TPS terakhir berada di koridor A untuk Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Psikologi (FPsi). Pencontrengan dimulai pukul 08.00 WIB sampai 16.30 WIB.

Pagi hari, Lukman Rudiansyah, Sistem Informasi '07, Calon Wakil Presiden (Cawapres) Kebangkitan yang ditemui sedang berada di TPS 2, mengungkapkan kekecewaannya pada KPU atas beberapa hal. Diantaranya mengenai pemilihan hari Jum'at untuk pencontrengan. Menurutnya hari itu tidak seramai Senin sampai Kamis, hingga audiensnya pun sedikit. Kedua, jumlah surat suara yang sediakan KPU hanya 2.500 lembar. Padahal ada sekitar 6.000 mahasiswa aktif UMB yang berhak memilih. Selain hari itu, pria yang akrab disapa Padang ini juga mengeluh akan minimnya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dari tiap partai di setiap titik TPS. “Pagi-pagi saja sudah ada kotak suara, dikhawatirkan ada penggelembungan suara,” keluhnya. Karena kotak suara belum tersegel dari pagi. “Kebetulan dari partai saya melihat (baca:kotak) belum disegel. Setelah diberi teguran baru disegel,” ungkap Danu Nomiselas, Teknik Mesin '07, Calon Presiden (Capres) Kebangkitan di tempat terpisah.

Kontras dengan Partai Kebangkitan, Ahmad Hafizudin, Akuntansi '07, Capres Kedaulatan memuji kinerja KPU yang ia rasa sudah sangat baik. Menurutnya, demokrasi berjalan sinergis, jujur, adil dan transparan. “Mungkin karena waktunya saja yang mepet,” ujar Hafiz di TPS 03. Menyoal jumlah surat suara, Hafiz memaklumi hal ini. Karena menurutnya, kejadian di tahun-tahun sebelumnya surat suara terpakai tak lebih dari dua ribu lembar. “Malah kurang dari dua ribu suara. Saya dengar dari tim saya, totalnya (baca:surat suara) sekarang 2.500 dan ini menyamakan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya,” jelas Hafiz.

Saat pencontrengan, KPU belum bisa memberikan keterangan untuk mengklarifikasi persoalan tersebut.  Setelah sempat menghilang beberapa waktu, Ahmad Fajrin memberikan keterangan mengenai jumlah surat suara. Pihaknya mengakui soal jumlah surat suara memang sempat simpang siur. KPU sudah merapatkan untuk mengeluarkan sebanyak 3.500 surat suara. “Surat suara yang sudah kita (baca: KPU) distribusikan dan yang kelar setelah sampai jam tujuh pagi itu sebanyak 2.500. Seribunya masih tertahan di tempat print karena masalah waktu,” jelas Fajrin.

Siang hari saat pencontrengan tengah berlangsung, sensitivitas antar massa pendukung partai cukup terasa. Dimana atmosfer ketegangan antar massa pendukung partai sebetulnya sudah terasa saat dua hari sebelum pencontrengan, yaitu pada prosesi debat kandidat. Bahkan Ketua KPU sampai  memindahkan lokasi debat yang semula di aula rektorat ke depan wall climbing sebagai antisipasi chaos. Seperti yang dikemukakan Fajrin pada Orientasi Rabu itu.

Seorang pendukung Kebangkitan, Angkasa Sankladiaz, broadcasting '09, mengeluhkan keberadaan simpatisan partai lawan yang ada di sekitar TPS. Ia mempertanyakan hal ini. Orientasi sendiri tidak melihat Panwaslu sigap menanggapi hal ini. Keberadaan Panwaslu pun sempat dipertanyakan.

Hal ini ditepis oleh Julian Al-Rasyid, ketua MPM yang menyatakan bahwa saat pencontrengan jumlah Panwaslu saat itu sebanyak 24 orang yang terdiri dari anggota MPM, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan partai.  

Selain itu, beberapa mahasiswa mengeluhkan sosialisasi pemira. Seperti yang diungkapkan mahasiswa Broadcasting '09, Lutfi Danovan, “Gue  tahu kalau ada pemira (baca: pencontrengan) dan dari pihak KPU seperti kurang sosialisasi. Karena hampir semua teman-teman yang tidak mengikuti UKM tidak mengetahui bahwa hari ini ada pemira. Tiba-tiba pas hari-H sudah ada pencontrengan saja.”

Kritik akan kurangnya sosialisasi pemira dimentahkan oleh KPU dan MPM. Fajrin atau yang biasa disapa Ipung, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi dengan tiga metode, yaitu pertama metode verbal, publikasi ke kelas-kelas. Menurutnya, anggotanya telah meng-cover hampir seluruh kelas dari gedung A sampai gedung E. “Bahkan sampai abang sendiri pun turun,” bantahnya. “Kedua, menempel-nempelkan. Jelas kita sudah memberitahukan,” tambahnya. Terakhir sosialisasi lewat media radio kampus. “Jadi kalau ada yang bilang kurang sosialisasi, ya tolong, janganlah berdusta,” imbuh pria asal palembang ini, geregetan.

Setali tiga uang dengan Ipung, Ketua MPM pun menganggap bahwa sosialisasi pemira 2011 inilah yang paling baik sejak 2005. “Sosialisasi jauh lebih besar dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Pertama MPM sudah memasang banner, KPU yang awal pun sudah melakukan proses sosialisasi. Kalau sosialisasi, tidak perlu jadi bahan perdebatan,” pungkas pria yang biasa dipanggil Ijung ini tenang.

Selain itu, ada pula kejanggalan pada prosedural perekrutan anggota KPU. Menurut Ijung, dalam AD/ART, anggota KPU adalah mahasiswa minimal semester 4. Namun saat pencontrengan, ada anggota KPU yang masih berstatus mahasiswa angkatan 2010, alias mahasiswa semester 2. Seperti yang Orientasi temui pada malam penghitungan suara di TPS 1. Karlina  anggota KPU yang bertugas mencatat hasil surat suara di TPS itu adalah mahasiswa Sistem Informatika angkatan 2010 yang mengenakan kemeja hitam, sama seperti yang dikenakan ketua KPU. Saat ditanya mengenai ini, Ijung kaget dan mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin. Justru ia menegaskan pada saya mungkin karlina anggota Komisi Panitia Pemungutan Suara (KPPS). Saat pemilihan, anggota KPPS adalah yang memakai almamater. Sedangkan anggota KPU mengenakan seragam kemeja hitam. “Mungkin saja saat itu dia gerah dan ganti baju,” pledoi Ijung.

Beragam persoalan di atas tidak menjadi tanda titik bagi konflik pemira tahun ini. Alur kisah pemilu ini semakin klimaks pada malam perhitungan suara. Setelah molor hampir dua jam dari jadwal yang ditentukan, penghitungan suara dimulai di masing-masing TPS dengan dihadiri 5 orang saksi. Masing-masing datang dari perwakilan partai kedaulatan, partai kebangkitan, KPU, KPPS, dan Panwaslu. Serta tak kurang dari dua orang satpam berjaga di tiap TPS. Namun tidak terlihat perwakilan Dirmawa pada malam itu. Hal ini disayangkan oleh Ijung sebagai ketua MPM. Menurutnya, seharusnya Dirmawa hadir minimal satu orang saja. Setidaknya itu bisa meminimalisir bentrokan.

Hasilnya, TPS 1 didominasi oleh Partai Kedaulatan dengan perolehan 369 suara, 171 suara untuk Partai Kebangkitan dan suara tidak sah berjumlah 45 suara. Hasil berbeda didapat di TPS 2. Partai Kebangkitan menang dengan perolehan 369 suara, mengalahkan 19 suara untuk Partai Kedaulatan. Sebanyak 80 surat suara tidak sah harus dibuang. Kontroversi terjadi di TPS 3 yang menjadi bakal bentrokan pada malam itu. Di TPS itu partai nomor 2 unggul dengan 415 suara dan  partai nomor 1 mendapat 86. Suara tidak sah sebanyak 111 suara, hingga total suara 612. Ketika data diverifikasi ternyata terdapat total surat suara yang dihitung jauh melampaui database yang semula dikatakan KPU berjumlah 523, ternyata hanya ada 323 suara yang ditandai dengan Stabilo dan spidol. Kejadian ini menuai pertanyaan kritis dari mahasiswa yang hadir di tempat itu. Setidaknya ada selisih 289 suara yang lebih. Belum selesai data diverifikasi ulang melalui absen, keadaan berubah ricuh.


Penghitungan yang berakhir ricuh
Ketua KPU menjelaskan kronologi yang terjadi pada malam itu. Menurutnya, awal kejadian ada yang memprotes KPU tentang ketimpangan suara. Ada yang menanyakan jumlah database pemilih dan juga menanyakan jumlah surat suara yang terpakai. “Jadi dia menanyakan hal-hal yang sekiranya ada di masa banding,” tutur Ipung. Masih menurut Ipung, jika ada yang ingin berkomentar mestinya dilakukan pada hari banding. Jadi tidak di hari-H.

Saat itu, saksi berhak memprotes atau mengkritisi surat suara yang sah atau tidak. “Tapi kalau mulai registrasi (baca: database) dan segala macam di luar itu, kami (baca: KPU) tidak boleh. Karena dari situ sudah mulai keluar dari koridor yang diharuskan,” jelas Ipung. Ia kembali bercerita, “Ketika dia menanyakan itu tiba-tiba segerombolan datang dan saya pun tidak mengenal gerombolan itu darimana,” tambahnya. Ia tidak ingin menjastifikasi siapa dan dari mana orang-orang itu berasal. “Yang pasti dia (baca: pemrotes) datang dengan tujuan baik, tapi caranya saja yang salah,” ungkapnya.

Ipung mengungkapkan bahwa pemrotes tersebut menggebrak bangku dan meja. Sampai akhirnya datang partai nomor dua dengan merayakan kemenangannya. Seketika itu terjadi gesekan. “Yang tadinya para pemrotes ini memrotes KPU dan akhirnya pecah. Langsung melempari bak sampah. Gue langsung lari, karena gak tahu siapa lawan dan siapa kawan,” tuturnya. Ia melihat banyak orang yang memegang batu dan balok untuk memukul siapa saja . Saat keadaan ricuh, ia keluar melewati gerbang di depan koridor A.

Bentrokan terjadi sekitar pukul 22.00 WIB. Ditemui di pos pengaman, Rommy mengaku telah mengantisipasi bentrok antar partai. Hingga terdapat dua orang petugas pengaman di tiap TPS. Pada malam kejadian, 12 orang satuan Pengaman (Satpam) tidak sanggup meredam aksi massa tersebut. kemudian, Ia menghubungi Polsek Kembangan untuk meminta bantuan menenangkan warga. Tetapi mereka tidak boleh memasuki wilayah kampus. Rommy menerangkan bahwa malam itu ia juga hampir bertengkar dengan warga. Karena warga ingin masuk kampus.

Anggota Kanit Intelkom Polsek Kembangan, Yusuf, membenarkan bahwa saat itu pihaknya datang ke UMB. Namun tidak masuk ke dalam kampus. “Sebatas di luar kampus,” jelasnya. Karena itu bukan wewenang pihak kepolisian. Jum'at malam itu, seluruh anggota kapolsek datang dipimpin Kompol Sutoyo sebagai Kapolsek, petugas berjumlah sekitar 24 orang, sempat hadir pula wakapolrek kebun jeruk. Ketika polisi datang sudah banyak batu berserakan. Pihaknya mengingatkan dan menghimbau warga dan mahasiswa agar tenang dan tidak ribut. Keadaan mulai kondusif sekitar pukul 00.00 WIB.
BentrokPart II   
Selesainya mediasi dengan polisi, rupanya tidak menyurutkan hasrat mahasiswa untuk bertarung. Dini harinya, sekitar pukul 02.00 WIB, ada serangan masuk dari pagar koridor A. diperkirakan sekitar 50 orang yang berusaha masuk. Namun mereka berhasil diusir satpam. Rommy melihat massa itu membawa balok dan kayu-kayu. Sayangnya, ada yang masuk dengan meloncati pagar. Karena orang yang terlalu banyak, satpam tidak mampu mengontrol keadaan tersebut. Massa langsung masuk ke dalam, dan satpam menelepon polisi kembali. Lagi-lagi petugas tidak berani masuk ke dalam kampus. Rommy menyebutkan massa tersebut hampir berjumlah seratus orang. Keadaan yang gelap menambah ketidakjelasan identitas massa. “Yang jelas (baca: massa) mahasiswa,” terang Rommy.

Ia menambahkan bahwa peristiwa itu berlangsung sebentar, tidak sampai sepuluh menit. Saat massa masuk ke dalam, Komandan Peleton (Danton) security ini berusaha menyetop massa yang lain. Peristiwa itu mengakibatkan Lukman, Cawapres nomor 1 menderita luka bacok samurai. Ditemui Orientasi di bata merah , Lukman menceritakan tragedi berdarah itu. Dini hari itu, ia bersama rekannya mahasiswa Fikom, Teknik Informatika dan Sistem Informasi serta alumni, yakni Hadi Saputra dan Yus Sangaji, yang tak lebih dari 20 orang, di bata merah mencoba mengklarifikasi masalah pada massa yang datang beramai-ramai agar tidak terjadi keributan. “Tapi mereka tetap kekeuh, dengan sudah membawa samurai, bambu, dan balok, mereka menyerang. Mereka maju, dan gue kabur ke bata merah kemudian turun ke atrium.”

Ia menceritakan, pada saat itu ia beberapa kali mencoba melarikan diri dari orang-orang yang berada di sudut atrium. Bersama seorang temannya mereka berdua mencoba menerobos massa. Setelah berhasil lolos, ia mencari alat untuk keselamatan diri. Bangku di stan psikologi menjadi tamengnya untuk menghalau samurai. Sempat menghalau serangan dua sampai tiga menit, “tiba-tiba belakang gue kena benda tajam, karena mereka makin banyak masuk ke dalam stand, gue jatuh disitu. Tameng gue cuma bangku putih.” Tidak lama, ia bangkit menghalau massa dengan kondisi tangan baret. Setelah itu ia lari ke tangga lab elektro, tapi ada kelompok itu lagi. Sampai ia dilindungi oleh Hafis, TI '07, alumni pun datang.

Akhirnya, ia dievakuasi lewat parkiran belakang oleh rekan-rekannya, Dimas, Chandra, Esa, dan Leo.  Lukman dilarikan ke rumah sakit Siloam, Jakarta Barat. Ia mendapat 16 jahitan di bagian belakang kepala, jari tangan, dan lengan. Dirmawa membiayai segala pengobatan korban bacok ini. Peristiwa tanggal 17 dan 18 Juni ini membuat pihak kampus membuat mediasi antar kedua belah partai yang bertikai. Rabu, Tanggal 22 Juni lalu digelar pertemuan yang dihadiri oleh Dirmawa yang diwakili oleh Endi Rekarti sebagai direktur, Rahman, Ghazaly Ama La Nora sebagai chief security, tokoh masyarakat Mahmud,  wakil lurah, FBR, Forkabi dan unsur-unsur kepemimpinannya dan pemuda-pemuda. Serta, kedua belah partai. Seperti yang dijelaskan oleh Ghazaly di Ruangannya Kamis (30/06) lalu .Menurutnya, sementara kasus Lukman ini ia pending terlebih dahulu untuk dilempar ke kepolisian. “Saya masih mampu menangani ini,” ujar Ghazaly. Ia mencoba menyelesaikan secara internal dahulu.

Sesuai surat edaran rektor mengenai penyelesaian kejadian tanggal 17 dan 18 Juni lalu, salah satunya adalah kedua belah pihak yang bertikai telah bersepakat untuk berdamai. Edwin Van Isak Maahalay, ketua Partai Kedaulatan, mengakui partainya telah berdamai. Pun dengan Billy, Capresnya, menegaskan bahwa sudah tidak ada pertikaian. Ditanyai mengenai kemungkinan massa pendukungnya yang melakukan penyerangan dini hari, ia pun tidak tahu sekaligus tidak bisa menjamin jika bukan partisipannya yang terlibat. Ia menerangkan bahwa saat chaos pertama terjadi, Ia ada di Bata Merah dan langsung pergi ke tempat temannya.

Mengenai mediasi, Lukman mengaku surat edaran rektor yang dipajang di mading-mading kampus, redaksionalnya berubah dan baginya itu tidak lengkap seperti mediasi yang dihadirinya di Saung Abah, Rabu lalu. Ia menyayangkan saat itu pihaknya tidak ada yang mencatat. Lukman mengatakan bahwa dia memberikan waktu selama dua minggu setelah kejadian bagi kampus untuk menyelesaikan kasus penyerangan atas dirinya.  “Sampai saat ini, kasus saya masih digantung. Tidak ada kejelasan..susah banget mencari keadilan di kampus ini” keluh pria berambut panjang ini. Merasa kecewa, Jum'at (01/07) lalu, Lukman telah melakukan visum di rumah sakit Siloam dengan surat pengantar dari polsek Kembangan untuk keperluan aduannya ke polres nanti. Menurut Cawapres kebangkitan ini, kasus ini sempat dilempar oleh kapolsek Kembangan karena ruang lingkup universitas sudah masuk kepada tingkatan yang lebih besar, yaitu polres. Namun, sesampainya di polres Jakarta Barat, kasusnya dinilai sudah cukup lama dan basi.

Akhirnya ia tetap membulatkan tekatnya untuk melimpahkan kasusnya ke pihak yang berwajib. Karena baginya, kampus seolah menutupi dan tidak mau membuka kasus ini lebih jauh. Belum ada tindakan tegas dari kampus untuk mencari dan memberi sanksi pada pelaku. Rabu (06/07) lalu, Lukman menunjukkan surat laporannya pada kapolres atas kasus “pengeroyokan” pada Orientasi.

Kisruh Pemira tahun ini merupakan yang terbesar sekaligus dengan kerusakan yang paling sedikit. Itulah yang dinyatakan oleh Rommy, petugas keamanan. Berbagai pihak sangat menyayangkan peristiwa yang mencoreng pesta demokrasi ini. Mulai dari para kandidat, security, KPU, MPM, mahasiswa-mahasiswa UMB, sampai kepolisian.  Mengutip salah satu dari harapan-harapan untuk pemira selanjutnya, Ipung, ketua KPU berharap,“semoga, siapapun yang terpilih nanti bisa menjadikan UMB lebih baik.”
Dewi Ananda dan Yogarta Awawa

Saksi itu bernama TPS 003


Saksi itu bernama TPS 003

Mulai dari perbedaan total suara dengan hasil suara, hingga munculnya surat suara 'siluman' sebanyak 289 menjadi pemicu bentrokan malam itu. Suasana berubah menjadi arena perang yang mencekam.

Setelah proses panjang, Jumat (17/06) Universitas Mercu Buana (UMB) kembali melangsungkan Pemilihan Umum Raya (Pemira). Jadwal Pemira yang mundur akibat pembubaran Komisi Pemilihan Umum (KPU), akhirnya dilangsungkan pada tiga titik. Sayangnya, pesta demokrasi yang diharapkan lancar tersebut, berakhir bentrok. Hal ini terjadi sekitar pukul 21.20 WIB di Tempat Pengambilan Suara (TPS) 003 setelah penghitungan suara usai. TPS 003 yang berada di selasar gedung A (depan BAA) menjadi saksi bisu awal kericuhan tersebut. Puluhan mahasiswa saat itu saling baku hantam. Malam itu, UMB tak sunyi seperti malam-malam biasanya. Pecahan beling menghiasi beberapa area kampus.

Berbeda dengan suasana pagi hari, saat itu  TPS 003 yang dikhususkan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FE&B) dan Fakultas Psikologi (FPsi) itu terlihat lengang. Pada pukul 10.00 WIB ketika pengambilan suara telah dimulai pun tali-tali sebagai batas TPS belum terpasang. Sekitar pukul 11.00 WIB, TPS mulai dijejali mahasiswa. KPU terlihat tidak sigap, karena ada beberapa orang dari tim KPPS muda (baca: angkatan 2010) yang berdiam diri saat gerombolan mahasiswa datang serempak untuk memilih.

Di sela-sela kesibukan suasana, terlihat calon presiden, wakil, dan ketua partai dari masing-masing partai berlalu-lalang dan menegur ramah mahasiswa yang hendak memberikan suara sambil ikut mengamati proses pemira tersebut. Bahkan, sempat terlihat  pada waktu senggang tim KPU dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) mengobrol santai dengan calon-calon dari salah satu partai.

Keadaan mulai sibuk pada pukul 11.20 WIB, saat itu mahasiswa yang ingin memberikan suaranya datang lebih banyak, membuat keadaan menjadi tidak kondusif. Tidak ada mahasiswa yang mengantri walaupun ramai, bahkan meja tempat registrasi pemilih dipadati dan beberapa  orang ada yang menempati hingga tali batas pemungutan suara. Keadaan berlangsung hingga istirahat.   

Pemilihan suara diistirahatkan mulai pukul 12.00 - 13.40 WIB, sementara kotak suara diamankan dalam toilet khusus Pusat Operasional Perkuliahan (POP) di gedung D. Tim KPU pada TPS 003 diganti dengan TPS lainnya saat itu. Sekitar pukul 14.30 WIB, TPS 003 sudah mulai sepi hingga resmi ditutup pada pukul 17.00 WIB.

 Penghitungan Suara
Penghitungan suara di TPS 003 baru dimulai pada pukul 19.30 WIB. Hal ini terlambat dari jadwal sebelumnya yakni habis maghrib. Saat itu, ada tiga orang yang mengenakan kemeja hitam (baca : tim KPU), bertugas dalam penghitungan suara tersebut. Satu orang bertugas membaca, satu orang bertugas meletakkan hasil suara yang telah di baca, dan satu orang lainnya bertugas sebagai notulen.

Pembacaan hasil suara melibatkan lima orang saksi, juga dilihat langsung oleh puluhan mahasiswa dan beberapa orang satpam yang waspada ditempat sekitar. Sebelum memulai penghitungan suara, salah seorang yang bertugas sebagai pembaca hasil menerangkan prosedur yang sesuai dengan AD/ART.

Penghitungan suara memakan waktu satu setengah jam dari total 523 pemilih berdasarkan data absensi pemilih. Keadaan tidak terlalu kondusif, karena sempat beberapa kali terdengar sautan dan sorak-sorai pendukung partai.

“Hidup nomor dua!” teriak salah seorang dari pojok kiri.

“Partai kedaulatan, yes!” saut seseorang lagi.

Salah seorang tim KPU yang bertugas membacakan, sesekali memberi himbauan tegas pada pendukung partai agar tetap tenang. Begitu pula bila ada suara yang tidak sah, beberapa orang kadang komplain mengenai hal tersebut. Tim KPU mencoba menenangkan, bahkan sempat membacakan ulang prosedur sah/tidak sahnya surat suara.

Hasilnya, partai no.2 menang mutlak di TPS 003. Pendukung dari partai no.2 pun riuh atas keunggulan suara tersebut. Mereka mulai menyanyikan yel-yel kemenangan dan keliling koridor kampus. Sedangkan beberapa saksi dan mahasiswa pendukung partai no.1 masih berada disana, menemukan kejanggalan akan hasil penghitungan tersebut. Jumlah antara surat suara sah dengan tidak sah menunjukkan angka 612, selisih 89 suara.

“Hitung ulang dong!” ucap salah seorang pendukung partai no.1 sambil mendekat pada meja perhitungan suara.

“Gimana nih KPU!” ungkap yang lainnya bersautan.

Beberapa mahasiswa dan saksi tersebut menuntut KPU untuk menghitung ulang total pemilih dari absensi pendaftaran pemilih. Dari penghitungan tersebut, total pemilih dari FE&B dan FPsi hanya 323 mahasiswa. Itu berarti surat suara yang dipertanyakan lebih banyak lagi, yaitu 289 surat suara. Hal ini membuat suasana memanas, seseorang diantaranya terlihat gusar dan mulai memutuskan tali-tali pembatas TPS.

Seolah tak yakin dengan penghitungan, tim KPU mulai menghitung kembali. Saat itu ketua KPU ikut datang dan menghitung. Mereka menghitung ulang seraya memberi pledoi bahwa tanda pada data absensi membuat rancu, ada banyak tanda di sana (dengan stabilo, spidol, dan hanya pemberian tanda titik). Ini dikarenakan KPPS yang memberi tanda pada data absensi berbeda-beda dan tidak hadir pada saat perhitungan. Saat penghitungan ulang, suara yel-yel dan teriakan kemenangan masa partai no.2 terdengar jelas, memecah konsentrasi, menjadikan suasana tidak kondusif.

Disaat suasana panas itu, para mahasiswa di TPS 003 seakan-akan menuntut KPU untuk dapat menghitung lebih cepat lagi. Hanya ada sekitar 12 orang di sana termasuk tim KPU. Sayangnya suasana benar-benar tidak kondusif dan tak terkendali, sehingga salah satu mahasiswa pendukung partai no.1 yang berada di TPS 003 menunjukkan emosinya dengan mendorong bangku pada PTS hingga jatuh dan menimbulkan suara keras.

“Daaaaaaak!!!” bangku tersebut jatuh terbanting

Suasana seperti ini berlanjut dengan kerusuhan malam itu, beberapa mahasiswa refleks lari, tim KPU pun menghilang dari keramaian mengamankan diri, beberapa diantaranya saling baku hantam hingga keluar kampus (baca: hingga jalan raya depan halte gedung Tower). Botol-botol minuman di koperasi pun menjadi senjata saling lempar. Puluhan mahasiswa saat itu tak dapat dikendalikan oleh satpam. (Sri Noviyanti dan Iin Parwati Seviarny)

Selasa, 21 Agustus 2012

Lembaga Kemahasiswaan, Merangkak menuju Dewasa


Lembaga Kemahasiswaan, Merangkak menuju Dewasa

Sistem Pemerintahan dalam kampus adalah langkah pembelajaran mahasiswa dalam menjalankan Demokrasi, namun rasanya sejauh ini Lembaga Mahasiswa masih jauh dari kata ideal.


Kegiatan mahasiswa merupakan syarat untuk mendirikan Perguruan Tinggi  sesuai dengan tri dharma perguruan tinggi, sebab tidak hanya tenaga professional yang akan dihasilkan, namun juga para calon pemimpin bangsa.

Dalam kampus, kegiatan mahasiswa diramu menjadi banyak sekali jenisnya, mulai dari kegiatan bersifat hobi, hingga kelembagaan mahasiswa yang dulu dikenal sebagai Dewan Mahasiswa (Dema), namun pada pertengahan orde baru Dema mulai kehilangan tajinya, tidak seperti dekade-60-an, Dema tidak lagi dianggap sebagai representatif suara rakyat. Hal ini tentu bukan tanpa sebab, pemerintahan orde baru secara rapih melakukan 'penertiban' mahasiswa sebagai langkah stabilisasi politik Negara, maka dari itu turun Surat Keputusan (SK) Menteri Pedidikan dan kebudaya (Mendikbud) tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi kampus (NKK/BKK), ini ditetapkan pada tahun 1977/1978, pasca peristiwa Malari tahun 1974.

Lalu Universitas Mercu Buana (UMB : setelah tahun 1989)  yang dulu bernama AWD (1981-1988) memulai Lembaga Kemahasiswaan dengan mengguanakan pola NKK/BKK dengan diketuai oleh Pembantu Rektor III (Purek III) dengan anggotanya adalah mahasiswa yang ditunjuk langsung oleh Purek III.  Menilai NKK/BKK adalah sebuah tindakan represif pemerintahan untuk mematikan mahasiswa, maka pada tahun 1987 NKK/BKK dirubah dengan pola baru, yakni Badan Pelaksana Kegiatan Mahasiswa (BPKM) yang sebenarnya diambil dari konsep Dema dan NKK/BKK dan diketuai oleh Willy Suherman. Kemudian Edinarto dan Santoso Selaku Pendiri dan Pimpinan AWD kembali menyusun pola baru dengan menerapka sistem Pola Pembinaan Mahasiswa (POBBINAWA), menanggapi SK Mendikbud tentang peubahan NKK/BKK menjadi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), tidak terlalu menjadi rumit, karena POBBINAWA dianggap hampir menyerupai model SMPT.

Pada perjalanannya setelah Indonesia yang terlepas dari orde baru mulailah  gembar – gembor tentang reformasi 'gaung' di Indonesia. Sistem orde baru yang dianggap merenggut kebebasan dan disebut otoriter, dirubah menjadi sistem demokrasi, Indonesia menggeliat dan bangun untuk segera melangkah menuju Negara dengan asas demokratis. Begitu pula dengan kehidupan kelembagaan mahasiswa yang menggunakan sistem demokrasi ala mahasiswa, kelembagaan mahasiswa kini santer disebut sebagai Student Government  dengan pejabat mahasiswa yang dipilih secara langsung untuk akhirnya duduk di kursi eksekutif (baca:presiden mahasiswa) atau legislatif (ketua MPM).

Perubahan sistem tentulah tidak serta merta merubah fungsi dari student government  secara fundamental . sistem yang berubah, hanyalah sebuah wahana pembelajaran mahasiswa dalam menjalankan kedewasaan bangsa terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Dimana banyak kita temui kebobrokan sistem negara yang malah lebih parah, Demokrasi yang menjungjung tinggi nilai – nilai sportifitas dan dimana rakyat memiliki kedaulatan tertinggi karena secara teori demokrasi sering digembar – gemborkan dengan jargon, dari, oleh, untuk rakyat, sementara secara implementatif  para pegiat potlitik yang sedang menjalankan demokrasi malah senantiasa mengkhianati rakyatnyadan semata – mata hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok(kasus belakangan, yang diangkat dalam dialog metro tv tentang wakil rakyat ternyata wakil partai politik). Sehingga kelembagaan mahasiswa yang dibuat menjadi pola sebuah Negara sudah seharusnya menyajikan demokrasi secara ideal dan tidak melakukan praktik kotor dalam prosesnya.

Rohandi, mantan ketua Senat  Mahasiswa periode 1998/1999 menyatakan bahwa kampus ini mengadakan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) adalah sebagai langkah pembelajaran mahasiswa agar dapat melakukan aktivitas yang membangun kemandirian dan keorganisasian mahasiswa, dengan semangat reformasi  yang menjalankan demokrasi dan menjadi laboratorium keorganisasian mahasiswa.

Ia pun menambahkan, bahwa SG yang ideal: dimana mereka(mahasiswa yang sedang duduk di SG) dapat menjalankan fungsinya secara tepat, dimana legislatif memiliki sebuah kitab perundang undangan keorganisasian(Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga), maka haruslah dijalankan sesuai dengan aturannya. Penurunan SG saat ini bukanlah dikarenakan sebuah sistem atau penurunan situasi mahasiswa ,  karena saat ini mahasiswa kurang mendalami filosofi dari kelembagaan itu sendiri, “ saya yakin, kalau mereka memahami  filosofinya sendiri, organisasi ini akan menjadi organisasi yang idealis, dan menjadi panutan,” imbuh pria yang juga staff Direktorat Kemahasiswaan UMB.

Selaras dengan Rohandi, Julian Al-rasyid selaku ketua MPM periode 2010-2011 menyatakan bahwa SG yang ideal adalah dimana AD/ART dapat dijalankan dengan baik karena pembentukan AD/ART adalah sebuah aturan representatif  mahasiswa, karena dibuat, dari, oleh dan untuk mahasiswa, dimana itu adalah sebuah langkah dalam rangka menjungjung tinggi asas demokrasi sehingga dapat mejadi jembatan aspirasi mahasiswa, hingga akhirnya SG adalah sebuah keorganisasian yang murni tanpa campur tangan rektorat, ia pun menyinggung pemerintahan sebelumnya adalah pemerintahan yang inkonstitussional, dimana waktu itu SG melewati batas masa jabatan, “jadi jelas itu inkonstitusional,” tukasnya.

Endi Rekarti selaku Kepala DIRMAWA menilai bahwa SG adalah sebuah wadah pembelajaran mahasiswa dalam berorganisasi, memang didalam SG sendiri mengimplementasikan asas demokrasi, dari, oleh, dan untuk mahasiswa, namun terjadi definisi yang salah kaprah disini, menurutnya SG memang berada di non-struktural kampus namun tetap saja yang member legalitas adalah kampus, “seakan – akan Presma Setara dengan Rektor,” ujar pria berperawakan kecil ini. Lagi pula ORMAWA selalu ada dibawah bimbingan dan lindungan rektor. Lagi pula masih banyak yang harus dibenahi, terutama keterwakilan mahasiswa dalam kebijakan ormawa sendiri perlu dipikirkan.

Dari pengamatan beberapa bulan ini, Endi mengakui banyak mahasiswa yang masih bingung, dan tidak memahami untuk menyuarakan aspirasinya,”harusnya ini menjadi tolok ukur keberhasilan,” ujarnya. Mahasiswa Public Relation '05, Arif Setiadi angkat bicara menurutnya SG di UMB masih tertatih – tatih, itu dikarenakan kurangnya rasa memiliki dari mahasiswa, dan begitu banyak mahasiswa yang apatis saat ini, menurutnya SG memang organisasi yang mengakomodir aspirasi mahasiswa, namun karena pada realitanya kepedulian mahasiswa terhadap SG sendiri begitu minim, yang akhirnya membuat SG tersebut berjalan tertatih, “banyak faktor yang membelenggu, diantaranya adalah pemikiran personal mahasiswa yang menjadikannya apatis,” ujar pria yang lebih suka disebut seorang demonstran ini. julian arrasyid pun membenarkan hal itu, menurutnya dewasa ini mahasiswa terlalu apatis, “mereka lebih mencintai tugas kuliahnya,” ujar pria yang biasa disapa ijung itu mengeluh.

Selain kurangnya perhatian mahasiswa terhadap organisasi kekinian, banyak hal yang membuat SG tidak dapat berjalan secara stabil, seperti yang dipaparkan oleh Rohandi, menurutnya saat ini SG masih belum sempurna, idealnya dalam menjalankan demokrasi haruslah ada trias politika yakni lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Dimana setiap lembaga memiliki kewenangan yang berbeda namun berkorelasi,”dimana badan eksekutif adalah pelaksana UU yang telah diusulkan pada legislatif,” paparnya. Sementara tugas dan wewenang lembaga yudikatif, masih belum terpikir,”namun saat ini, kewenangan tersebut diambil oleh MPM,” tambahnya. Endi Rekarti menolak pernyataan itu, menurutnya posisi yudikatif diambil alih oleh pembina, supaya jelas tindakan dari segala macam pelanggaran,”bila ada anggapan SG/Presma sama dengan rektorat, itu sama saja ada negara dalam negara,” tuturnya. masih menurutnya mahasiswa pun harus lebih jeli dalam mengartikan kebebasan berdemokrasi, dan independensi kelembagaan mahasiswa, “mahasiswa memang punya indenpendensi, tapi tetap ada batasannya,” jelasnya. Kadang – kadang SG berteriak atas nama mahasiswa,”mahasiswa mana dulu, nih?” ujarnya menyindir. Asumsi Endi tadi selaras dengan kondisi SG kekinian, Ketua UKM Swatala, Ratno Dwi Kurniawan membenarkan adanya kepentingan golongan dalam tubuh SG,”seperti ada gap antara BEM sama MPM, ada satu komunitas yang mau menguasai, dan 'membajak satu kelembagaan, hingga didominasi sama satu jurusan tertentu,” jelas pria yang juga sempat bergabung dengan BEM-Universitas.

Gigih pun menambahkan,  sebaiknya SG benar – benar menjalankan tri dharma perguruan tinggi agar tetap bisa berperan secara intelek dan menjaga semangat kreatifitas mahasiswa, juga  mengayomi masyarakat ,”karena tidak bisa dipungkiri, kita butuh support dari masyarakat sekitar, dan menghilangkan kesenjangan,” ujarnya tenang. (Dimas Aditya P., Sri Noviyanti)

 
Edited Design by Ali Nardi | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes