Langkah Kecil Pemuda
Riau, Taklukan Asia Pasifik
“menggila lah bersama dunia. Orang takut pasti kalah dengan yang
berani. Orang berani pasti kalah dengan orang nekat. Orang nekat hanya bisa
kalah dengan orang yang gila. Yang penting out of the box,”
Muhammad Yuhdi, seorang pengusaha
software, pasti ada di dalam rumah besar itu. Dari luar, sebuah mobil Luxio
berwarna abu-abu telah terparkir. “Rumah ketiga dari ujung, kalau lihat Luxio
terparkir berarti dia ada di rumah,” ujar seorang sahabat yang menuntun tim
Orientasi menuju kediaman yang disebut Wahyudi sebagai workshop. Benar saja,
karena seorang lelaki kemudian membukakan pintu. Bukan, itu bukan Yudi, sapaan
akrab Muhammad Yuhdi, karena ia mulai menyibukkan diri di dapur. Sementara
waktu terus berputar, spekulasi bagaimana sosok seorang yang telah membesarkan
perusahaan software bernama Spectra Multimedia itu, seolah telah berkoalisi
dengan detakan jarum jam untuk mengisi kesunyian di ruang yang berisi sofa
empuk dan layar LCD tersebut. Apakah ia seorang yang tambun, gagah, ataukah
seorang yang berbadan tegap dan bidang bak kontestan pemilihan susu berenergi?
Namun, semua itu terjawab ketika sosok pria berkemeja hitam dan bercelana
pendek menuruni sekitar sepuluh anak tangga dari sisi kiri dimana sofa empuk
itu bernaung. “Kita ngobrol di atas aja ya,” ujarnya memecah kesunyian kala itu
sederhana.
Kesigapannya berjalan terhenti di
sebuah dak luas berisi tenda dengan tempat duduk nyaman yang terletak di lantai
tiga rumah milik pria 33 tahun itu. Rumah yang dijadikan tempat 'bertapa' bagi
sembilan karyawan Spectra untuk mengembangkan inovasi ini merupakan salah satu
wujud kesuksesan kariernya sebagai wirausahawan. Bermula ketika seorang teman
yang menawarkannya sebuah project untuk membuat animasi sebanyak 80 judul. Pria
alumni Universitas Mercu Buana (UMB) '94 ini pun memberanikan diri untuk
menggarap project bernilai total 200 juta tersebut, sehingga nama Spectra
Multimedia pun lahir. “Gue bikin 12 tim yang satu timnya terdiri dari 3-4 orang
anak UMB bahkan dosennya,” terangnya. Karena tidak puas dengan kerja tim
tersebut, walhasil project tiga bulan itu digarapnya seorang diri.
Asap rokok yang dimainkan Yudi
kala itu terus menari ke udara bersamaan semilirnya angin siang hari.
Mataharipun dengan gagahnya menunjukkan kekuatannya. Kekuatan seperti itulah
yang ditunjukkan Yudi dalam memainkan strategi pasar. Dengan dalih mendapatkan
branding, Yudi membawa Spectra mengikuti lomba tingkat nasional yang diselenggarakan
Depkominfo awal tahun lalu. Gelar juara yang diraih membawanya ke tingkat Asia
Pasifik. Sehingga nama Spectra
Multimedia mulai diperhitungkan. “Menurut gue itu awal kesuksesan Spectra,”
tuturnya sembari menenggak teh segar yang bongkahan esnya mulai mencair oleh
panasnya matahari. Bukan suatu keberuntungan, karena keunikan software yang
diciptakan menarik para juri saat itu. “keunikan software gue karena editable.
Jadi user bisa mengganti-ganti konten aja sesuai keinginan,” ungkapnya santai.
Kini, perusahaan itu menjadi salah satu pembuat software pendidikan di
Indonesia.
Tiupan kencang angin tak
menggoyahkan tubuh kecilnya. Mungkin karena beban telepon genggam yang lebih
besar dari biasanya, mampu menahannya tetap di tempat. Tak banyak yang dapat
mengira bahwa pria dua anak ini berasal dari Riau, karena gaya bahasa yang
kental dengan logat Betawinya. Namun di daerah itulah ia menorehkan masa
kecilnya. Sosok Yudi kecil memang belum memperlihatkan arah minat sesungguhnya.
“Awalnya gue pengen jadi peneliti,” tuturnya. Bagi pria yang senang membaca
buku psikologi ini, hidup di daerah mempunyai kelebihan tersendiri. Karena ia
bersama teman-teman kecilnya mempunyai kebebasan untuk bermain dan mengenal
budaya Indonesia lebih jauh. “Gue bersyukur bisa main di rumputan babi, main
perang-perangan. Karena disitulah yang membuat kreatifitas gue jalan,”
ungkapnya sambil menerawang masa lalunya. Seperti ingin agar tim Orientasi ikut
masuk ke lorong waktu masa kecilnya, iapun mengandaikan suasana daerahnya seperti
di film Laskar Pelangi. Nampaknya sukses penggambarannya.
Hidup di keluarga yang terbilang
cukup, anak kedua dari lima bersaudara ini dahulu mengenyam dua pendidikan
dasar sekaligus. “Karena Ibu orang NU (Nahdatul Ulama), makanya disekolahkan
pula di madrasah Ibtida'iyah waktu sore harinya,” ungkapnya. Bekal agama yang
diterimanya semasa kecil ternyata turut melengkapi jalan hidupnya. “Awalnya
niat masuk elektro. Enggak tahu kenapa, malah terpilih di informatika. Gue
pikir pasti Tuhan punya jalan lain yaudah gue jalanin aja,” imbuhnya. Tak
terasa, sampah puntung rokok ternyata mulai membanjiri dak bersemen itu.
Kecepatannya berbicara memang
seolah sedang mengamati rally Moto GP dengan Valentino Rossi sebagai jagoannya. Beruntung dua makhluk tak bernyawa
ini, puntungan rokok dan segelas teh manis, berhasil memberikan jeda untuknya,
dan kembali bernostalgia. Yudi kecil yang mulai beranjak remaja itupun
melanjutkan pendidikannya di SMPN 1 Riau. Kemegahan kota Jakarta yang membuat
siapa saja terpanah oleh gemerlapnya kota metropolitan itupun turut mengenai
hati Yudi. Hingga lulus SMP ia merantau bersama teman sejawatnya ke Jakarta.
Tetapi apa daya, kualitas yang diharapkan lebih baikpun hanya dongeng belaka.
Sebuah Sekolah Teknik Menengah (STM) di Kebon Jeruk dipilihnya sebagai tempat
melanjutkan pendidikan formal. Namun, tak seformal sistemnya, iapun menjalani
hari-hari sekolah dengan carut marut. “Datang, absen, cabut ke Gramedia,”
tuturnya. Namun disanalah ia melihat surga dunia. “Gue baca banyak buku disana,
apalagi buku-buku psikologi, agama, pergerakan,” tuturnya. Pengaruh besar
kental terasa saat ia masuk ke ranah universitas.
UMB membawanya pada satu titik
dimana ia menemukan kemampuan dirinya, dan mengembangkannya. Mengaku karena
kecelakaan politis sehingga menjadi ketua himpunan mahasiswa teknik informatika
(himti) selama 1,5 periode ini, Sang
perantau yang awalnya tidak biasa menghadapi orang justru 180 derajat berubah.
Tanggung jawabnya saat itu yang mengharuskan ia berhadapan dengan beragam
insan. Entah harus berucap syukur atau menyesal karena saat itu jurusan dimana
ia bernaung sedang di ambang batas. “Jurusaan ini (informatika) ibarat janin
yang hendak digugurkan oleh kampus. Cuma kita lahirkan kembali dengan cara
bikin kegiatan,” kenangnya. Putar otak bahkan banting tulang mereka tak kalah
seru dengan kebingungan seorang Ayah yang harus mencari nafkah bagi
keluarganya. Mulai dari promosi jurusan Teknik Informatika hingga ke ujung
Tangerang, sampai menghelat pameran karya-karya mahasiswa Informatika.
Pengalamannya mengatur sistem, baik manusia maupun program, menghasilkan buah
paling berharga bagi dunia kerja. “Di dunia kerja kita memantaince orang-orang
di bawahnya, sulit kalau tidak terbiasa,” tambahnya. Mengenal karakter
masing-masing orang juga menjadi bekal untuknya saat ini. Buku-buku psikologi
serta sisi feminis yang dimiliki terbukti cukup mempunyai andil baginya. “Gue
lebih sensitif dari kebanyakan cowok. Tapi karena sensitif itulah gue bisa
mengetahui selera orang,” akunya.
Tak terasa adzan Dzuhur
menyelimuti seantero komplek Kejaksaan kala itu. Kini sukses karier telah
menemani hidupnya. Ucap syukur juga tersirat dari matanya yang tajam. Gelas
yang telah kosongpun sudah terisi kembali. Ada satu pencerahan dari kata-kata
yang terangkai dalam ucapannya, “menggila lah bersama dunia. Orang takut pasti
kalah dengan yang berani. Orang berani pasti kalah dengan orang nekat. Orang
nekat hanya bisa kalah dengan orang yang gila. Yang penting out of the box,”
tutupnya. (Ayu Tri Lestari)