Burung terbang

Rabu, 22 Agustus 2012

Langkah Kecil Pemuda Riau, Taklukan Asia Pasifik


Langkah Kecil Pemuda Riau, Taklukan Asia Pasifik

“menggila lah bersama dunia. Orang takut pasti kalah dengan yang berani. Orang berani pasti kalah dengan orang nekat. Orang nekat hanya bisa kalah dengan orang yang gila. Yang penting out of the box,”

Muhammad Yuhdi, seorang pengusaha software, pasti ada di dalam rumah besar itu. Dari luar, sebuah mobil Luxio berwarna abu-abu telah terparkir. “Rumah ketiga dari ujung, kalau lihat Luxio terparkir berarti dia ada di rumah,” ujar seorang sahabat yang menuntun tim Orientasi menuju kediaman yang disebut Wahyudi sebagai workshop. Benar saja, karena seorang lelaki kemudian membukakan pintu. Bukan, itu bukan Yudi, sapaan akrab Muhammad Yuhdi, karena ia mulai menyibukkan diri di dapur. Sementara waktu terus berputar, spekulasi bagaimana sosok seorang yang telah membesarkan perusahaan software bernama Spectra Multimedia itu, seolah telah berkoalisi dengan detakan jarum jam untuk mengisi kesunyian di ruang yang berisi sofa empuk dan layar LCD tersebut. Apakah ia seorang yang tambun, gagah, ataukah seorang yang berbadan tegap dan bidang bak kontestan pemilihan susu berenergi? Namun, semua itu terjawab ketika sosok pria berkemeja hitam dan bercelana pendek menuruni sekitar sepuluh anak tangga dari sisi kiri dimana sofa empuk itu bernaung. “Kita ngobrol di atas aja ya,” ujarnya memecah kesunyian kala itu sederhana.

Kesigapannya berjalan terhenti di sebuah dak luas berisi tenda dengan tempat duduk nyaman yang terletak di lantai tiga rumah milik pria 33 tahun itu. Rumah yang dijadikan tempat 'bertapa' bagi sembilan karyawan Spectra untuk mengembangkan inovasi ini merupakan salah satu wujud kesuksesan kariernya sebagai wirausahawan. Bermula ketika seorang teman yang menawarkannya sebuah project untuk membuat animasi sebanyak 80 judul. Pria alumni Universitas Mercu Buana (UMB) '94 ini pun memberanikan diri untuk menggarap project bernilai total 200 juta tersebut, sehingga nama Spectra Multimedia pun lahir. “Gue bikin 12 tim yang satu timnya terdiri dari 3-4 orang anak UMB bahkan dosennya,” terangnya. Karena tidak puas dengan kerja tim tersebut, walhasil project tiga bulan itu digarapnya seorang diri.
Asap rokok yang dimainkan Yudi kala itu terus menari ke udara bersamaan semilirnya angin siang hari. Mataharipun dengan gagahnya menunjukkan kekuatannya. Kekuatan seperti itulah yang ditunjukkan Yudi dalam memainkan strategi pasar. Dengan dalih mendapatkan branding, Yudi membawa Spectra mengikuti lomba tingkat nasional yang diselenggarakan Depkominfo awal tahun lalu. Gelar juara yang diraih membawanya ke tingkat Asia Pasifik.  Sehingga nama Spectra Multimedia mulai diperhitungkan. “Menurut gue itu awal kesuksesan Spectra,” tuturnya sembari menenggak teh segar yang bongkahan esnya mulai mencair oleh panasnya matahari. Bukan suatu keberuntungan, karena keunikan software yang diciptakan menarik para juri saat itu. “keunikan software gue karena editable. Jadi user bisa mengganti-ganti konten aja sesuai keinginan,” ungkapnya santai. Kini, perusahaan itu menjadi salah satu pembuat software pendidikan di Indonesia.
Tiupan kencang angin tak menggoyahkan tubuh kecilnya. Mungkin karena beban telepon genggam yang lebih besar dari biasanya, mampu menahannya tetap di tempat. Tak banyak yang dapat mengira bahwa pria dua anak ini berasal dari Riau, karena gaya bahasa yang kental dengan logat Betawinya. Namun di daerah itulah ia menorehkan masa kecilnya. Sosok Yudi kecil memang belum memperlihatkan arah minat sesungguhnya. “Awalnya gue pengen jadi peneliti,” tuturnya. Bagi pria yang senang membaca buku psikologi ini, hidup di daerah mempunyai kelebihan tersendiri. Karena ia bersama teman-teman kecilnya mempunyai kebebasan untuk bermain dan mengenal budaya Indonesia lebih jauh. “Gue bersyukur bisa main di rumputan babi, main perang-perangan. Karena disitulah yang membuat kreatifitas gue jalan,” ungkapnya sambil menerawang masa lalunya. Seperti ingin agar tim Orientasi ikut masuk ke lorong waktu masa kecilnya, iapun mengandaikan suasana daerahnya seperti di film Laskar Pelangi. Nampaknya sukses penggambarannya.
Hidup di keluarga yang terbilang cukup, anak kedua dari lima bersaudara ini dahulu mengenyam dua pendidikan dasar sekaligus. “Karena Ibu orang NU (Nahdatul Ulama), makanya disekolahkan pula di madrasah Ibtida'iyah waktu sore harinya,” ungkapnya. Bekal agama yang diterimanya semasa kecil ternyata turut melengkapi jalan hidupnya. “Awalnya niat masuk elektro. Enggak tahu kenapa, malah terpilih di informatika. Gue pikir pasti Tuhan punya jalan lain yaudah gue jalanin aja,” imbuhnya. Tak terasa, sampah puntung rokok ternyata mulai membanjiri dak bersemen itu.
Kecepatannya berbicara memang seolah sedang mengamati rally Moto GP dengan Valentino Rossi sebagai  jagoannya. Beruntung dua makhluk tak bernyawa ini, puntungan rokok dan segelas teh manis, berhasil memberikan jeda untuknya, dan kembali bernostalgia. Yudi kecil yang mulai beranjak remaja itupun melanjutkan pendidikannya di SMPN 1 Riau. Kemegahan kota Jakarta yang membuat siapa saja terpanah oleh gemerlapnya kota metropolitan itupun turut mengenai hati Yudi. Hingga lulus SMP ia merantau bersama teman sejawatnya ke Jakarta. Tetapi apa daya, kualitas yang diharapkan lebih baikpun hanya dongeng belaka. Sebuah Sekolah Teknik Menengah (STM) di Kebon Jeruk dipilihnya sebagai tempat melanjutkan pendidikan formal. Namun, tak seformal sistemnya, iapun menjalani hari-hari sekolah dengan carut marut. “Datang, absen, cabut ke Gramedia,” tuturnya. Namun disanalah ia melihat surga dunia. “Gue baca banyak buku disana, apalagi buku-buku psikologi, agama, pergerakan,” tuturnya. Pengaruh besar kental terasa saat ia masuk ke ranah universitas.
UMB membawanya pada satu titik dimana ia menemukan kemampuan dirinya, dan mengembangkannya. Mengaku karena kecelakaan politis sehingga menjadi ketua himpunan mahasiswa teknik informatika (himti)  selama 1,5 periode ini, Sang perantau yang awalnya tidak biasa menghadapi orang justru 180 derajat berubah. Tanggung jawabnya saat itu yang mengharuskan ia berhadapan dengan beragam insan. Entah harus berucap syukur atau menyesal karena saat itu jurusan dimana ia bernaung sedang di ambang batas. “Jurusaan ini (informatika) ibarat janin yang hendak digugurkan oleh kampus. Cuma kita lahirkan kembali dengan cara bikin kegiatan,” kenangnya. Putar otak bahkan banting tulang mereka tak kalah seru dengan kebingungan seorang Ayah yang harus mencari nafkah bagi keluarganya. Mulai dari promosi jurusan Teknik Informatika hingga ke ujung Tangerang, sampai menghelat pameran karya-karya mahasiswa Informatika. Pengalamannya mengatur sistem, baik manusia maupun program, menghasilkan buah paling berharga bagi dunia kerja. “Di dunia kerja kita memantaince orang-orang di bawahnya, sulit kalau tidak terbiasa,” tambahnya. Mengenal karakter masing-masing orang juga menjadi bekal untuknya saat ini. Buku-buku psikologi serta sisi feminis yang dimiliki terbukti cukup mempunyai andil baginya. “Gue lebih sensitif dari kebanyakan cowok. Tapi karena sensitif itulah gue bisa mengetahui selera orang,” akunya.
Tak terasa adzan Dzuhur menyelimuti seantero komplek Kejaksaan kala itu. Kini sukses karier telah menemani hidupnya. Ucap syukur juga tersirat dari matanya yang tajam. Gelas yang telah kosongpun sudah terisi kembali. Ada satu pencerahan dari kata-kata yang terangkai dalam ucapannya, “menggila lah bersama dunia. Orang takut pasti kalah dengan yang berani. Orang berani pasti kalah dengan orang nekat. Orang nekat hanya bisa kalah dengan orang yang gila. Yang penting out of the box,” tutupnya. (Ayu Tri Lestari)

 
Edited Design by Ali Nardi | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes