BALADA PEMIRA UMB 2011
Pesta demokrasi tingkat universitas yang selayaknya menjadi
representasi kedewasaan dan peradaban intelektualitas mahasiswa Mercu Buana
belum mampu selamat dari kata 'bentrok' dan tepat peraturan. Pasalnya, saat
pencontrengan terdapat beberapa kejanggalan dan keluhan terhadap KPU. Pemira
ini pun berakhir pada kisah pilu pembacokan seorang kandidat presiden.
Akhirnya, setelah melewati
serangkaian proses yang sempat tersendat, Universitas Mercu Buana
menyelenggarakan Pemilihan Raya (Pemira) Mahasiswa 2011 pada Jum'at (17/06)
lalu. Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terpilih pada 27 Mei lalu
dirombak ulang oleh Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) karena dianggap
tidak berhasil menampilkan demokrasi yang seharusnya. Alur pemira kini berjalan
tanpa ada 'cerita' aklamasi karena KPU baru yang diketuai oleh Ahmad Fajrin,
broadcasting '07, meloloskan dua partai, yaitu Partai Kebangkitan Mahasiswa
dengan nomor urut satu dan Partai Kedaulatan Mahasiswa dengan nomor urut dua.
Namun, sampai berita ini ditulis belum ada keputusan sah dari MPM mengenai
siapa pemenang pemira sesungguhnya. Karena saat malam penghitungan suara,
terjadi bentrok yang berujung pada tragedi berdarah.
Ironis, khidmatnya suatu proses
demokrasi tampaknya belum bisa dinikmati di menara gading ini. Hal ini terlihat
dari bentrok dan kerusuhan yang lumrah terjadi pada beberapa periode pemilu.
Kali ini, lagi-lagi terjadi chaos antar partai yang bersaing memperebutkan
singgasana Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)-Universitas.
Pada 17 Juni lalu, KPU membagi
Tempat Pemilihan Suara (TPS) menjadi tiga titik. TPS 1 berlokasi di bata merah
Gedung D untuk Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) dan Fakultas Teknik Perencanaan
dan Desain (FTPD). TPS 2 untuk Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) dan Fakultas
Teknik Industri (FTI) di Koridor B. TPS terakhir berada di koridor A untuk
Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Psikologi (FPsi). Pencontrengan dimulai
pukul 08.00 WIB sampai 16.30 WIB.
Pagi hari, Lukman Rudiansyah,
Sistem Informasi '07, Calon Wakil Presiden (Cawapres) Kebangkitan yang ditemui
sedang berada di TPS 2, mengungkapkan kekecewaannya pada KPU atas beberapa hal.
Diantaranya mengenai pemilihan hari Jum'at untuk pencontrengan. Menurutnya hari
itu tidak seramai Senin sampai Kamis, hingga audiensnya pun sedikit. Kedua,
jumlah surat suara yang sediakan KPU hanya 2.500 lembar. Padahal ada sekitar
6.000 mahasiswa aktif UMB yang berhak memilih. Selain hari itu, pria yang akrab
disapa Padang ini juga mengeluh akan minimnya Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) dari tiap partai di setiap titik TPS. “Pagi-pagi saja sudah ada
kotak suara, dikhawatirkan ada penggelembungan suara,” keluhnya. Karena kotak
suara belum tersegel dari pagi. “Kebetulan dari partai saya melihat
(baca:kotak) belum disegel. Setelah diberi teguran baru disegel,” ungkap Danu
Nomiselas, Teknik Mesin '07, Calon Presiden (Capres) Kebangkitan di tempat
terpisah.
Kontras dengan Partai
Kebangkitan, Ahmad Hafizudin, Akuntansi '07, Capres Kedaulatan memuji kinerja
KPU yang ia rasa sudah sangat baik. Menurutnya, demokrasi berjalan sinergis,
jujur, adil dan transparan. “Mungkin karena waktunya saja yang mepet,” ujar
Hafiz di TPS 03. Menyoal jumlah surat suara, Hafiz memaklumi hal ini. Karena
menurutnya, kejadian di tahun-tahun sebelumnya surat suara terpakai tak lebih
dari dua ribu lembar. “Malah kurang dari dua ribu suara. Saya dengar dari tim
saya, totalnya (baca:surat suara) sekarang 2.500 dan ini menyamakan tahun lalu
dan tahun-tahun sebelumnya,” jelas Hafiz.
Saat pencontrengan, KPU belum
bisa memberikan keterangan untuk mengklarifikasi persoalan tersebut. Setelah sempat menghilang beberapa waktu,
Ahmad Fajrin memberikan keterangan mengenai jumlah surat suara. Pihaknya
mengakui soal jumlah surat suara memang sempat simpang siur. KPU sudah
merapatkan untuk mengeluarkan sebanyak 3.500 surat suara. “Surat suara yang
sudah kita (baca: KPU) distribusikan dan yang kelar setelah sampai jam tujuh
pagi itu sebanyak 2.500. Seribunya masih tertahan di tempat print karena
masalah waktu,” jelas Fajrin.
Siang hari saat pencontrengan
tengah berlangsung, sensitivitas antar massa pendukung partai cukup terasa.
Dimana atmosfer ketegangan antar massa pendukung partai sebetulnya sudah terasa
saat dua hari sebelum pencontrengan, yaitu pada prosesi debat kandidat. Bahkan
Ketua KPU sampai memindahkan lokasi
debat yang semula di aula rektorat ke depan wall climbing sebagai antisipasi
chaos. Seperti yang dikemukakan Fajrin pada Orientasi Rabu itu.
Seorang pendukung Kebangkitan,
Angkasa Sankladiaz, broadcasting '09, mengeluhkan keberadaan simpatisan partai
lawan yang ada di sekitar TPS. Ia mempertanyakan hal ini. Orientasi sendiri
tidak melihat Panwaslu sigap menanggapi hal ini. Keberadaan Panwaslu pun sempat
dipertanyakan.
Hal ini ditepis oleh Julian
Al-Rasyid, ketua MPM yang menyatakan bahwa saat pencontrengan jumlah Panwaslu
saat itu sebanyak 24 orang yang terdiri dari anggota MPM, Dewan Perwakilan
Mahasiswa (DPM), dan partai.
Selain itu, beberapa mahasiswa
mengeluhkan sosialisasi pemira. Seperti yang diungkapkan mahasiswa Broadcasting
'09, Lutfi Danovan, “Gue tahu kalau ada
pemira (baca: pencontrengan) dan dari pihak KPU seperti kurang sosialisasi.
Karena hampir semua teman-teman yang tidak mengikuti UKM tidak mengetahui bahwa
hari ini ada pemira. Tiba-tiba pas hari-H sudah ada pencontrengan saja.”
Kritik akan kurangnya sosialisasi
pemira dimentahkan oleh KPU dan MPM. Fajrin atau yang biasa disapa Ipung,
menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi dengan tiga metode,
yaitu pertama metode verbal, publikasi ke kelas-kelas. Menurutnya, anggotanya
telah meng-cover hampir seluruh kelas dari gedung A sampai gedung E. “Bahkan
sampai abang sendiri pun turun,” bantahnya. “Kedua, menempel-nempelkan. Jelas
kita sudah memberitahukan,” tambahnya. Terakhir sosialisasi lewat media radio
kampus. “Jadi kalau ada yang bilang kurang sosialisasi, ya tolong, janganlah
berdusta,” imbuh pria asal palembang ini, geregetan.
Setali tiga uang dengan Ipung,
Ketua MPM pun menganggap bahwa sosialisasi pemira 2011 inilah yang paling baik
sejak 2005. “Sosialisasi jauh lebih besar dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.
Pertama MPM sudah memasang banner, KPU yang awal pun sudah melakukan proses
sosialisasi. Kalau sosialisasi, tidak perlu jadi bahan perdebatan,” pungkas
pria yang biasa dipanggil Ijung ini tenang.
Selain itu, ada pula kejanggalan
pada prosedural perekrutan anggota KPU. Menurut Ijung, dalam AD/ART, anggota
KPU adalah mahasiswa minimal semester 4. Namun saat pencontrengan, ada anggota
KPU yang masih berstatus mahasiswa angkatan 2010, alias mahasiswa semester 2.
Seperti yang Orientasi temui pada malam penghitungan suara di TPS 1.
Karlina anggota KPU yang bertugas
mencatat hasil surat suara di TPS itu adalah mahasiswa Sistem Informatika
angkatan 2010 yang mengenakan kemeja hitam, sama seperti yang dikenakan ketua
KPU. Saat ditanya mengenai ini, Ijung kaget dan mengatakan bahwa hal itu tidak
mungkin. Justru ia menegaskan pada saya mungkin karlina anggota Komisi Panitia
Pemungutan Suara (KPPS). Saat pemilihan, anggota KPPS adalah yang memakai
almamater. Sedangkan anggota KPU mengenakan seragam kemeja hitam. “Mungkin saja
saat itu dia gerah dan ganti baju,” pledoi Ijung.
Beragam persoalan di atas tidak
menjadi tanda titik bagi konflik pemira tahun ini. Alur kisah pemilu ini
semakin klimaks pada malam perhitungan suara. Setelah molor hampir dua jam dari
jadwal yang ditentukan, penghitungan suara dimulai di masing-masing TPS dengan
dihadiri 5 orang saksi. Masing-masing datang dari perwakilan partai kedaulatan,
partai kebangkitan, KPU, KPPS, dan Panwaslu. Serta tak kurang dari dua orang
satpam berjaga di tiap TPS. Namun tidak terlihat perwakilan Dirmawa pada malam
itu. Hal ini disayangkan oleh Ijung sebagai ketua MPM. Menurutnya, seharusnya
Dirmawa hadir minimal satu orang saja. Setidaknya itu bisa meminimalisir
bentrokan.
Hasilnya, TPS 1 didominasi oleh
Partai Kedaulatan dengan perolehan 369 suara, 171 suara untuk Partai
Kebangkitan dan suara tidak sah berjumlah 45 suara. Hasil berbeda didapat di
TPS 2. Partai Kebangkitan menang dengan perolehan 369 suara, mengalahkan 19
suara untuk Partai Kedaulatan. Sebanyak 80 surat suara tidak sah harus dibuang.
Kontroversi terjadi di TPS 3 yang menjadi bakal bentrokan pada malam itu. Di
TPS itu partai nomor 2 unggul dengan 415 suara dan partai nomor 1 mendapat 86. Suara tidak sah
sebanyak 111 suara, hingga total suara 612. Ketika data diverifikasi ternyata
terdapat total surat suara yang dihitung jauh melampaui database yang semula
dikatakan KPU berjumlah 523, ternyata hanya ada 323 suara yang ditandai dengan
Stabilo dan spidol. Kejadian ini menuai pertanyaan kritis dari mahasiswa yang
hadir di tempat itu. Setidaknya ada selisih 289 suara yang lebih. Belum selesai
data diverifikasi ulang melalui absen, keadaan berubah ricuh.
Penghitungan yang berakhir ricuh
Ketua KPU menjelaskan kronologi
yang terjadi pada malam itu. Menurutnya, awal kejadian ada yang memprotes KPU
tentang ketimpangan suara. Ada yang menanyakan jumlah database pemilih dan juga
menanyakan jumlah surat suara yang terpakai. “Jadi dia menanyakan hal-hal yang
sekiranya ada di masa banding,” tutur Ipung. Masih menurut Ipung, jika ada yang
ingin berkomentar mestinya dilakukan pada hari banding. Jadi tidak di hari-H.
Saat itu, saksi berhak memprotes
atau mengkritisi surat suara yang sah atau tidak. “Tapi kalau mulai registrasi
(baca: database) dan segala macam di luar itu, kami (baca: KPU) tidak boleh.
Karena dari situ sudah mulai keluar dari koridor yang diharuskan,” jelas Ipung.
Ia kembali bercerita, “Ketika dia menanyakan itu tiba-tiba segerombolan datang
dan saya pun tidak mengenal gerombolan itu darimana,” tambahnya. Ia tidak ingin
menjastifikasi siapa dan dari mana orang-orang itu berasal. “Yang pasti dia
(baca: pemrotes) datang dengan tujuan baik, tapi caranya saja yang salah,”
ungkapnya.
Ipung mengungkapkan bahwa
pemrotes tersebut menggebrak bangku dan meja. Sampai akhirnya datang partai
nomor dua dengan merayakan kemenangannya. Seketika itu terjadi gesekan. “Yang
tadinya para pemrotes ini memrotes KPU dan akhirnya pecah. Langsung melempari
bak sampah. Gue langsung lari, karena gak tahu siapa lawan dan siapa kawan,”
tuturnya. Ia melihat banyak orang yang memegang batu dan balok untuk memukul
siapa saja . Saat keadaan ricuh, ia keluar melewati gerbang di depan koridor A.
Bentrokan terjadi sekitar pukul
22.00 WIB. Ditemui di pos pengaman, Rommy mengaku telah mengantisipasi bentrok
antar partai. Hingga terdapat dua orang petugas pengaman di tiap TPS. Pada
malam kejadian, 12 orang satuan Pengaman (Satpam) tidak sanggup meredam aksi
massa tersebut. kemudian, Ia menghubungi Polsek Kembangan untuk meminta bantuan
menenangkan warga. Tetapi mereka tidak boleh memasuki wilayah kampus. Rommy
menerangkan bahwa malam itu ia juga hampir bertengkar dengan warga. Karena
warga ingin masuk kampus.
Anggota Kanit Intelkom Polsek
Kembangan, Yusuf, membenarkan bahwa saat itu pihaknya datang ke UMB. Namun
tidak masuk ke dalam kampus. “Sebatas di luar kampus,” jelasnya. Karena itu
bukan wewenang pihak kepolisian. Jum'at malam itu, seluruh anggota kapolsek
datang dipimpin Kompol Sutoyo sebagai Kapolsek, petugas berjumlah sekitar 24
orang, sempat hadir pula wakapolrek kebun jeruk. Ketika polisi datang sudah
banyak batu berserakan. Pihaknya mengingatkan dan menghimbau warga dan
mahasiswa agar tenang dan tidak ribut. Keadaan mulai kondusif sekitar pukul
00.00 WIB.
BentrokPart II
Selesainya mediasi dengan polisi,
rupanya tidak menyurutkan hasrat mahasiswa untuk bertarung. Dini harinya,
sekitar pukul 02.00 WIB, ada serangan masuk dari pagar koridor A. diperkirakan
sekitar 50 orang yang berusaha masuk. Namun mereka berhasil diusir satpam.
Rommy melihat massa itu membawa balok dan kayu-kayu. Sayangnya, ada yang masuk
dengan meloncati pagar. Karena orang yang terlalu banyak, satpam tidak mampu
mengontrol keadaan tersebut. Massa langsung masuk ke dalam, dan satpam
menelepon polisi kembali. Lagi-lagi petugas tidak berani masuk ke dalam kampus.
Rommy menyebutkan massa tersebut hampir berjumlah seratus orang. Keadaan yang
gelap menambah ketidakjelasan identitas massa. “Yang jelas (baca: massa)
mahasiswa,” terang Rommy.
Ia menambahkan bahwa peristiwa
itu berlangsung sebentar, tidak sampai sepuluh menit. Saat massa masuk ke
dalam, Komandan Peleton (Danton) security ini berusaha menyetop massa yang
lain. Peristiwa itu mengakibatkan Lukman, Cawapres nomor 1 menderita luka bacok
samurai. Ditemui Orientasi di bata merah , Lukman menceritakan tragedi berdarah
itu. Dini hari itu, ia bersama rekannya mahasiswa Fikom, Teknik Informatika dan
Sistem Informasi serta alumni, yakni Hadi Saputra dan Yus Sangaji, yang tak
lebih dari 20 orang, di bata merah mencoba mengklarifikasi masalah pada massa
yang datang beramai-ramai agar tidak terjadi keributan. “Tapi mereka tetap
kekeuh, dengan sudah membawa samurai, bambu, dan balok, mereka menyerang.
Mereka maju, dan gue kabur ke bata merah kemudian turun ke atrium.”
Ia menceritakan, pada saat itu ia
beberapa kali mencoba melarikan diri dari orang-orang yang berada di sudut
atrium. Bersama seorang temannya mereka berdua mencoba menerobos massa. Setelah
berhasil lolos, ia mencari alat untuk keselamatan diri. Bangku di stan
psikologi menjadi tamengnya untuk menghalau samurai. Sempat menghalau serangan
dua sampai tiga menit, “tiba-tiba belakang gue kena benda tajam, karena mereka
makin banyak masuk ke dalam stand, gue jatuh disitu. Tameng gue cuma bangku
putih.” Tidak lama, ia bangkit menghalau massa dengan kondisi tangan baret.
Setelah itu ia lari ke tangga lab elektro, tapi ada kelompok itu lagi. Sampai
ia dilindungi oleh Hafis, TI '07, alumni pun datang.
Akhirnya, ia dievakuasi lewat
parkiran belakang oleh rekan-rekannya, Dimas, Chandra, Esa, dan Leo. Lukman dilarikan ke rumah sakit Siloam,
Jakarta Barat. Ia mendapat 16 jahitan di bagian belakang kepala, jari tangan,
dan lengan. Dirmawa membiayai segala pengobatan korban bacok ini. Peristiwa
tanggal 17 dan 18 Juni ini membuat pihak kampus membuat mediasi antar kedua
belah partai yang bertikai. Rabu, Tanggal 22 Juni lalu digelar pertemuan yang
dihadiri oleh Dirmawa yang diwakili oleh Endi Rekarti sebagai direktur, Rahman,
Ghazaly Ama La Nora sebagai chief security, tokoh masyarakat Mahmud, wakil lurah, FBR, Forkabi dan unsur-unsur
kepemimpinannya dan pemuda-pemuda. Serta, kedua belah partai. Seperti yang
dijelaskan oleh Ghazaly di Ruangannya Kamis (30/06) lalu .Menurutnya, sementara
kasus Lukman ini ia pending terlebih dahulu untuk dilempar ke kepolisian. “Saya
masih mampu menangani ini,” ujar Ghazaly. Ia mencoba menyelesaikan secara
internal dahulu.
Sesuai surat edaran rektor
mengenai penyelesaian kejadian tanggal 17 dan 18 Juni lalu, salah satunya
adalah kedua belah pihak yang bertikai telah bersepakat untuk berdamai. Edwin
Van Isak Maahalay, ketua Partai Kedaulatan, mengakui partainya telah berdamai.
Pun dengan Billy, Capresnya, menegaskan bahwa sudah tidak ada pertikaian.
Ditanyai mengenai kemungkinan massa pendukungnya yang melakukan penyerangan
dini hari, ia pun tidak tahu sekaligus tidak bisa menjamin jika bukan
partisipannya yang terlibat. Ia menerangkan bahwa saat chaos pertama terjadi,
Ia ada di Bata Merah dan langsung pergi ke tempat temannya.
Mengenai mediasi, Lukman mengaku
surat edaran rektor yang dipajang di mading-mading kampus, redaksionalnya
berubah dan baginya itu tidak lengkap seperti mediasi yang dihadirinya di Saung
Abah, Rabu lalu. Ia menyayangkan saat itu pihaknya tidak ada yang mencatat.
Lukman mengatakan bahwa dia memberikan waktu selama dua minggu setelah kejadian
bagi kampus untuk menyelesaikan kasus penyerangan atas dirinya. “Sampai saat ini, kasus saya masih digantung.
Tidak ada kejelasan..susah banget mencari keadilan di kampus ini” keluh pria
berambut panjang ini. Merasa kecewa, Jum'at (01/07) lalu, Lukman telah
melakukan visum di rumah sakit Siloam dengan surat pengantar dari polsek
Kembangan untuk keperluan aduannya ke polres nanti. Menurut Cawapres
kebangkitan ini, kasus ini sempat dilempar oleh kapolsek Kembangan karena ruang
lingkup universitas sudah masuk kepada tingkatan yang lebih besar, yaitu
polres. Namun, sesampainya di polres Jakarta Barat, kasusnya dinilai sudah
cukup lama dan basi.
Akhirnya ia tetap membulatkan
tekatnya untuk melimpahkan kasusnya ke pihak yang berwajib. Karena baginya,
kampus seolah menutupi dan tidak mau membuka kasus ini lebih jauh. Belum ada
tindakan tegas dari kampus untuk mencari dan memberi sanksi pada pelaku. Rabu
(06/07) lalu, Lukman menunjukkan surat laporannya pada kapolres atas kasus
“pengeroyokan” pada Orientasi.
Kisruh Pemira tahun ini merupakan
yang terbesar sekaligus dengan kerusakan yang paling sedikit. Itulah yang
dinyatakan oleh Rommy, petugas keamanan. Berbagai pihak sangat menyayangkan
peristiwa yang mencoreng pesta demokrasi ini. Mulai dari para kandidat,
security, KPU, MPM, mahasiswa-mahasiswa UMB, sampai kepolisian. Mengutip salah satu dari harapan-harapan
untuk pemira selanjutnya, Ipung, ketua KPU berharap,“semoga, siapapun yang
terpilih nanti bisa menjadikan UMB lebih baik.”
Dewi Ananda dan Yogarta Awawa