Burung terbang

Kamis, 29 Agustus 2013

Dunia Kampus Punya Siapa?



Oleh Dini Anjungsari dan Vianita Listanti
Tahun akademik 2013/2014 akan segera dimulai, itu berarti akan hadir juga mahasiswa/i baru (maba) penerus keturunan keluarga besar Universitas Mercu Buana. Sebelum memulai masa kuliah akademik, ‘adik-adik’ baru terlebih dahulu mengikuti masa orientasi yang kekinian bernama Dunia Kampus (DK). Masa orientasi juga dikenal sebagai momen penyambutan mahasiswa/i baru, yang mana hal ini memang sudah menjadi budaya dari tahun ke tahun di setiap kampus.
Sebelumnya, di tahun 1970-an DK lebih dikenal dengan nama Masa Prabakti Mahasiswa (MAPRAM). Di era tersebut budaya penyambutan maba kental akan perpeloncoan dan penggojlokan fisik, karena hal ini dinilai melewati batas kewajaran maka berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud (mendiknas-red) No.0125/D/U/1979 MAPRAM berubah nama menjadi Orientasi Pengenalan Kampus (OSPEK). Kemudian, pada tanggal 2 April 1985 SK tersebut disusul dengan dikeluarkannya  surat edaran dari Dirjen Dikti No. 651/D/U/1985 yang intinya menyatakan bahwa mulai tahun 1985 perpeloncoan dan penggojlokan fisik harus dihapuskan dari lingkungan kampus.
Dinamika perjalanan penyambutan mahasiswa/i UMB sendiri memiliki banyak cerita. Sejak pertama kali berdiri pada tahun 1981 hingga tahun 2013 ini setidaknya sudah 10 kali perubahan dalam sistem penyambutan maba.
Pada awalnya Yayasan Menara Bakti membuka Akademi Wiraswasta Dewantara yang berdiri resmi di tahun 1981. Saat itu, kegiatan penyambutan mahasiswa/I baru dilaksanakan oleh para staff pengajar. Di masa itu OSPEK sendiri memiliki nama “Kontrak Belajar” yang diikuti oleh 150 mahasiswa. Sistem yang berlangsung pada 1983-1984 ini, berisikan perjanjian komitmen mahasiswa tentang masa studi tepat waktu. Perjanjian tesebut juga ditandatangani oleh seluruh mahasiswa di hari terakhir OSPEK.
 Empat tahun dari berdirinya AWD Yayasan Menara Bakti membuka kampus baru bernama UMB. Di tahun 1989, OSPEK di kedua kampus dipisahkan berdasarkan institusi masing-masing. Walaupun masih ada beberapa staf kampus, namun keterlibatan mahasiswa di tahun ini lebih besar dan di tahun berikutnya  Ospek menjadi hak penuh mahasiswa tanpa ada campur tangan dari pihak staf.
Pada tahun 1989 AWD digabungkan ke UMB. Hal ini pun didukung oleh seluruh mahasiswa. Perihal, penyambutan mahasiswa baru, biro kemahasiswaan berubah nama yakni mengganti nama Ospek menjadi Orientasi Pendidikan (Ordik). Di masa ini perpeloncoan secara fisik pun kembali terjadi dan hal ini terus terjadi hingga tahun 1993.
Hal yang kontroversi sekaligus menjadi babak baru bagi Ospek UMB dimulai lagi tahun 1996. Dimana waktu itu, berdasarkan SK DIKTI yang mengintruksikan kepada Pembantu Rektor (PUREK) III seluruh Indonesia untuk mengambil sebagian peran mahasiswa dalam penyelenggaraan Ospek. Dengan adanya SK tersebut kampus mengubah nama Ordik menjadi Pekan Pengenalan Studi dan Kampus (PSSK). Sebagian mahasiswa tidak setuju dengan kebijakan ini karena menurut mereka sistem seperti ini akan mengembalikan UMB ke era awal AWD dan UMB berdiri.
Masa PSSK berlangsung hingga tahun 1999, pada masa itu perpeloncoan masih ditemukan. Pada awal millenium baru, tahun ajaran 2000, pergantian nama Ospek pun kembali terjadi dari PSSK menjadi Dunia Kampus (DK). Selanjutnya, polemik DK terjadi lagi di tahun 2009/2010. Berdasarkan Notulen kajian Manajemen (Minutes of Management Review, MoMR) tanggal 31 Juli 2009 nama Dunia Kampus (DK) berubah nama menjadi Orientasi Studi Kampus dan Spiritual (OSKAS). Hasilnya adalah kegiatan OSKAS diambil alih oleh pihak PUREK III (Dirmawa) sebagai panitia penyelenggara acara dan mahasiswa hanya medapatkan porsi sebagai pengawas untuk pelaksanaan OSKAS ini. Keputusan yang dinilai sepihak ini juga menuai berbagai kecaman dari mahasiswa karena dianggap mematikan hak-hak mahasiswa. Satu tahun kemudian mahasiswa dipercaya sebagai penyelenggara DK sepenuhnya.
Di tahun 2011 DK kembali dilaksanakan oleh pihak kampus (Dirmawa) dengan alasan karena kekosongan jabatan ditingkat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas. Thomas Yuda Kristanda, mahasiswa yang aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) beladiri angkatan 2009 yang selalu mengikuti kepanitian DK sejak 2010 mengiyakan hal tersebut,Bukan karena keputusan Dikti tapi karena adanya kekosongan jabatan di BEM Universitas, makanya DK di dominasi oleh pihak kampus.” Hal ini masih terus berlanjut hingga tahun 2013, ditambah dengan hasil Surat Keputusan Rektor Nomor : 01/353/G-Skep/VII/2013 tentang pelaksanaan DK.
Keputusan yang dianggap sepihak itu, tidak bisa diterima oleh sebagian mahasiswa. Sala satunya  di fakultas Teknik (FT). Mereka menolak keputusan tersebut, walaupun sudah dilakukan mediasi antara mahasiwa dan pihak fakultas namun tetap saja keinginan mahasiswa tidak bisa tercapai, sehingga lembaga-lembaga di fakultas tersebut memilih untuk menyerahkan DK kepada fakultas. “Dengan kebesaran hatinya mereka (baca: mahasiswa) memutuskan untuk mengundurkan diri,” jelas Imam Hidayat selaku Pembina kemahasiswaan FT.
Menanggapi pernyataan Imam, Agus Fadlilah, Sekretaris HMJ Teknik Industri menyatakan hal itu memang terpaksa mereka lakukan demi kelancaran acara.
Yusuf Hermadi Ketua DK 2013 dan juga Ketua UKM Merpati Putih sepakat, bila DK tahun ini porsi mahasiswa memang sedikit, lebih jauh iya merasa bahwa pengambilan posisi kepanitian yang didominasi oleh rektorat dan dekanat membuat DK menjadi hambar “Gak asiknya mahasiswa kan karena pemahaman mahasiswa pelajar yang segala-galanya lah bebas berekspresi, bebas berkreativitas, bebas berpendapat tapi di DK tahun ini semua itu tertutup,“ ujarnya.  
Meskipun banyak pro dan kontra yang terjadi selama DK 2013 antara pihak mahasiswa dan pihak rektorat, acara tetap berlangsung dengan aman dan lancar, peserta DK tetap merasa senang telah mengikuti kegiatan DK sebelum masuk menjadi mahasiswa baru. “Seru dari pertama kali dateng yang tadinya gak punya temen jadi punya banyak temen,” ungkap Dewi Wahyuni mahasiswi baru fakultas Ekonomi.

Asyiknya Bikin Peraturan

Oleh Dimas Aditya Pamungkas*
Tiga tahun sudah sejak bentrokan antar mahasiswa terjadi. Sejak itu pula kursi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat universitas dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) mengalami kekosongan. Banyak hal terjadi selama vacuum of power, mulai dari banyaknya peraturan yang tidak masuk akal, hingga yang teranyar adalah Surat Keputusan Rektor Nomor : 01/353/G-Skep/VII/2013. 

Poin-poin keputusan dirasa begitu arogan, dan lemah secara prosedur. Memang betul dasar hukum yang digunakan berasal dari perundang-undangan yang kuat, namun secara prosedur rektor sebagai pemimpin intansi yang memiliki kekuasaan otonom dalam pengelolaan dan membuat keputusan, seyogyanya mampu bertindak cermat dan bijak. Tersebab di UMB masih berdiri Keluarga Besar Mahasiswa UMB (KMB UMB) yang jelas memiliki regulasi organisasi yang kuat dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART).

Terlebih isi dari perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum terbitnya SK begitu multipretasi. Pelanggaran prosedur tersebut menjadi paradoks bila kita mengingat bahwa berdirinya KBM-UMB merupakan lembaga resmi yang disahkan kampus.

Maka dirasa bijak bila rektorat dalam memutuskan untuk menerbitkan sebuah kebijakan membaca AD/ART KB-UMB supaya tidak kontradiksi. Kekosongan BEM-U dan MPM tidak membuat AD/ART KBM-UMB tidak berlaku, tersebab organisasi kemahasiswaan yang lain masih ada, sebagai representasi pandangan mahasiswa yang terwakilkan.

Poin keputusan yang berisi bahwa kegiatan masa orientasi mahasiswa baru bersifat keakademikan, tidak serta merta memangkas hak mahasiswa untuk berekspresi.Pelarangan terucapnya sumpah mahasiwa merupakan pelanggaran undang-undang dasar pasal 28, tentang hak asasi manusia yang menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul dan berekspresi. Intimidasi dan pembatasan ini bukankah pelanggaran nalar hukum yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran akademik.
*penulis adalah mantan panitia Dunia Kampus 2011

Sabtu, 24 Agustus 2013

Pemukulan Anggota Didaktika oleh Oknum Mahasiswa FIK

Jumat (23/8) sekitar pukul 12.00 WIB, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ) didatangi lima orang lelaki yang mengaku Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan. Mereka datang untuk menyampaikan keberatan atas pemberitaan di buletin Warta MPA 2013 Edisi IV artikel MPA, Riwayatmu Kini yang ditulis oleh reporter Didaktika Chairul Anwar. Keberatan yang diajukan adalah seputar kasus perkelahian yang terjadi antara mahasiswa baru Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) dengan mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) yang dimuat Didaktika.

Menurut lima mahasiswa FIK itu, artikel tersebut ditulis dengan sangat subyektif. Mereka meragukan kebenaran prosedur kerja jurnalistik yang dilakukan oleh LPM Didaktika. Penulis, artikel, bukti-bukti wawancara hingga dokumentasi rapat proyeksi tema pun mereka minta untuk dihadirkan saat itu juga. Padahal, menyoal dokumentasi rapat proyeksi merupakan domain pribadi LPM Didaktika. Meski Kami pada akhirnya memberikan dokumentasi tersebut.

Dialog pun tetap berlanjut tanpa menemui titik temu karena tawaran untuk membuat Hak Jawab dan pemberitaan ulang dari Didaktika tidak diterima. Mereka pun menawarkan jalan penyelesaian sendiri, dengan mengajak Pemimpin Umum Didaktika Satriono Priyo Utomo untuk berkelahi di depan Gedung G. Hingga Chairul Anwar datang, tiba-tiba mahasiswa tersebut yang sudah menunggu Chairul Anwar untuk dihadirkan, tiba-tiba begitu saja menyerang Chairul Anwar dan memukulinya beramai-ramai. Pemukulan pun terus terjadi, hingga pada akhirnya kawan-kawan Didaktika dibantu kawan-kawan unit lainnya berhasil menenangkan mahasiswa FIK yang menyerang Chairul Anwar tersebut.

Setelah dipisahkan oleh beberapa pihak, lima mahasiswa FIK itu pun meninggalkan Sekretariat Didaktika dengan meninggalkan ultimatum yang disampaikan secara lisan, “kami menunggu permintaan maaf Didaktika dalam  24 jam. Bila tidak dilakukan, Sekretariat Didaktika akan kami bakar!”
Kejadian seperti ini tentu kami sangat sesalkan dan tidak dapat diterima. Di lingkungan Perguruan Tinggi yang seharusnya mengedepankan cara-cara intelektual dalam menyelesaikan permasalahan, justru menjunjung tinggi tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah.

Hal tersebut tentu saja mencoreng nama mahasiswa tersebut dan lembaga yang menaunginya, yakni Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Terlebih yang menjadi korban Chairul Anwar sendiri yang sampai hari ini mengeluhkan sakit di bagian dada dan kepala akibat pemukulan tersebut.

Kejadian ini sekali lagi patut kita resahkan dan ke depannya tentu jangan sampai terulang kembali tindak pemukulan ini. Atas kejadian ini kami akhirnya datang ke ruangan Pembantu Rektorat bidang Kemahasiswaan. Namun kami tidak dapat menemui Pembatu Rektor III, karena saat itu Jumat (23/8), memang tidak sedang berada di tempat. Pertemuan kami dengan Pembatu Rektor III bermaksud melaporkan bahwa ada tindakan pemukulan terhadap anggota Didaktika.

Di ruang sekretaris PR III, secara tidak sengaja kami bertemu dengan mahasiswa FIK-yang sebelumnya sudah datang ke Didaktika dan melakukan pemukulan-dengan Ketua Masa Pengenalan Akademik (MPA) UNJ. Mereka mengajak kami untuk masuk dan berdialog dengan staf PR III dan Kepala Bagian Kemahasiswaan. Awalnya kami menolak, dan hanya mau masuk bila PR III sudah datang. Namun mereka tetap mengajak dan kami pun berdialog di ruangan PR III bersama stafnya dan juga beberapa mahasiswa, sembari menunggu kedatangan Pembantu Rektor III.

Dalam dialog tersebut staf PR III malah menyudutkan kami menyoal pilihan untuk membuat Hak Jawab yang ditawarkan oleh LPM Didaktika kepada pihak yang keberatan atas pemberitaan tersebut. Karena menurut staf  PR III dan seisi ruangan tersebut,anggota Didaktika bukan seorang jurnalis (meski Didaktika melakukan kerja-kerja jurnalistik), melainkan mahasiswa UNJ. Dan seolah membenarkan cara-cara kekerasan yang dilakukan beberapa oknum mahasiswa. Menurut salah satu staf tersebut, “Didaktika bisa menyelesaikan lewat kata-kata, tapi bagi mahasiswa yang sehari-hari dilatih fisik tentu tidak bisa. Jadi pakai jalan sendiri.”
Forum pun berjalan lebih dari satu jam, menghasilkan keputusan bahwa LPM Didaktika bersedia untuk memberikan klarifikasi atau Hak Jawab terhadap pemberitaan yang dikeluhkan pihak FIK tersebut. Juga menawarkan pemberitaan ulang. Karena Didaktika mengakui ada kesalahan prosedur jurnalistik di dalamnya. Namun, kejadian pemukulan yang menimpa anggota Didaktika malah menguap begitu saja.
Akhirnya, forum berakhir dengan beberapa konklusi yaitu:
  1. Mahasiswa FIK meminta Didaktika meminta maaf  secara lisan saat itu kepada mereka.
  2. Mahasiswa FIK meminta Didaktika meminta maaf kepada Dekanat FIK dan seluruh mahasiswa FIK.
  3. Sabtu (24/8) Didaktika diminta menghadap PD III FIK untuk meminta maaf didampingi oleh Kabag Kemahasiswaan Uded Darussalam.
  4. Didaktika memuat permintaan maaf yang tertuju pada Mahasiswa FIK dan Panitia MPA di bulletin Warta MPA.
  5. Panitia MPA meminta kami mengubah judul bulletin Warta MPA. Agar tidak menggunakan nama itu sebab memberi kesan bahwa kami adalah bagian Humas dari panitia.
Untuk itu, Didaktika besok (24/8) akan kembali mengadakan pertemuan dengan Pembantu Dekan III FIK, Kabag Kemahasiswaan dan sejumlah mahasiswa yang tadi terlibat dalam pemukulan dan yang mengajukan keberatan terhadap isi pemberitaan Didaktika. Kami bertujuan untuk kembali mengungkapkan masalah pemukulan yang terjadi namun tidak sempat terbahas di forum yang digelar di rektorat.
Kembali kepada Keberatan yang mereka ajukan atas pemberitaan Didaktika tentu kami menerimanya. Sebab, dalam prosedur jurnalistik, cara menyampaikan keberatan diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab. Hak jawab mesti diajukan dalam bentuk tertulis.
Dalam lampiran Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008  tertulis bahwa Hak Jawab berfungsi untuk:
  1. Memenuhi hak masyarakat atas pemberitaan yang akurat
  2. Menghargai martabat dan kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers
  3. Mencegah atau mengrangi munculnya kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dan pers
  4. Bentuk pengawasan masyarakat terhadap pers
Setelah pertemuan di Rektrorat selesai, kami menghubungi dosen pembimbing Jimmy Ph. Paat kemudian berencana akan menemui PR III saat penutupan MPA (24/8) sebelum menemui PD III FIK. Sambil terus mengerjakan Warta MPA 2013, Chairul Anwar melapor ke polisi kemudian melakukan visum ke RS Persahabatan ditemani Yogo Harsaid dan Indra Gunawan.

Saat pagi tiba, kami kedatangan mantan dosen pembimbing Didaktika Lodewyk F. Paat. Kemudian atas hasil pembicaraan dengan beliau, kami memutuskan untuk tidak menemui Pembantu Dekan III FIK di Kampus B, dengan pertimbangan tidak ada jaminan keamanan bagi kami.

Kami melanggar perjanjian tersebut atas asumsi dasar pihak yang akan ditemui disana bukan orang baik-baik, selalu menanggapi masalah dengan kekerasan. Sebab, saat pertemuan di Rektorat berlangsung, satu oknum mahasiswa FIK senantiasa melempari PU Didaktika Satriono Priyo Utomo dengan makanan yang disediakan disana, apabila mengeluarkan pendapat yang tidak mereka sukai.

Sementara kami bercengkrama dengan Lodewyk F. Paat, Kabag Kemahasiswaan Uded Darussalam beberapa kali menghubungi Satrio via telepon. Ia mengingatkan Didaktika untuk segera datang ke Kampus B karena ada agenda yang sudah disepakati. Namun, sekali lagi keamanan kami tidak terjamin.
Uded Darussalam mengatakan bisa menjamin keselamatan kami, tetapi ia tidak mau permasalahan ini tidak ingin diselesaikan secara struktural.  Dalihnya, PR III sudah memberikan mandat kepadanya untuk menyelesaikan permasalahan ini. Ia juga memberitahukan kepada kami bahwa di depan Gedung Serba Guna (GSG) Kampus B, sudah dipasang sebuah spanduk oleh mahasiswa FIK bertuliskan: DIDAKTIKA UNJ, BUBARKAN! HANYA MENIMBULKAN PERPECAHAN. #MAHASISWA GARIS KERAS FIK
Maka, kami memutuskan diri untuk segera mengungsi dengan membawa beberapa barang-barang serta arsip Didaktika ke tempat yang dianggap aman, hingga keadaan kembali kondusif. Rencana pertemuan dengan PR III dan Rektor Senin (26/7) sedang diusahakan.

Melalui release ini kami hanya menyampaikan info penyesalan mengapa kekerasan diambil sebagai sebuah jalan penyelesaian. Dan pemberitahuan ini tidak bermaksud merugikan pihak mana pun. Karena pemberitahuan ini dibuat sebagaimana mestinya, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Serta bermaksud sebagai informasi.

Demikian pemberitahuan ini kami buat.


Sumber: http://www.didaktikaunj.com/2013/08/pemukulan-anggota-didaktika-oleh-oknum-mahasiswa-fik/

Rabu, 22 Agustus 2012

Langkah Kecil Pemuda Riau, Taklukan Asia Pasifik


Langkah Kecil Pemuda Riau, Taklukan Asia Pasifik

“menggila lah bersama dunia. Orang takut pasti kalah dengan yang berani. Orang berani pasti kalah dengan orang nekat. Orang nekat hanya bisa kalah dengan orang yang gila. Yang penting out of the box,”

Muhammad Yuhdi, seorang pengusaha software, pasti ada di dalam rumah besar itu. Dari luar, sebuah mobil Luxio berwarna abu-abu telah terparkir. “Rumah ketiga dari ujung, kalau lihat Luxio terparkir berarti dia ada di rumah,” ujar seorang sahabat yang menuntun tim Orientasi menuju kediaman yang disebut Wahyudi sebagai workshop. Benar saja, karena seorang lelaki kemudian membukakan pintu. Bukan, itu bukan Yudi, sapaan akrab Muhammad Yuhdi, karena ia mulai menyibukkan diri di dapur. Sementara waktu terus berputar, spekulasi bagaimana sosok seorang yang telah membesarkan perusahaan software bernama Spectra Multimedia itu, seolah telah berkoalisi dengan detakan jarum jam untuk mengisi kesunyian di ruang yang berisi sofa empuk dan layar LCD tersebut. Apakah ia seorang yang tambun, gagah, ataukah seorang yang berbadan tegap dan bidang bak kontestan pemilihan susu berenergi? Namun, semua itu terjawab ketika sosok pria berkemeja hitam dan bercelana pendek menuruni sekitar sepuluh anak tangga dari sisi kiri dimana sofa empuk itu bernaung. “Kita ngobrol di atas aja ya,” ujarnya memecah kesunyian kala itu sederhana.

Kesigapannya berjalan terhenti di sebuah dak luas berisi tenda dengan tempat duduk nyaman yang terletak di lantai tiga rumah milik pria 33 tahun itu. Rumah yang dijadikan tempat 'bertapa' bagi sembilan karyawan Spectra untuk mengembangkan inovasi ini merupakan salah satu wujud kesuksesan kariernya sebagai wirausahawan. Bermula ketika seorang teman yang menawarkannya sebuah project untuk membuat animasi sebanyak 80 judul. Pria alumni Universitas Mercu Buana (UMB) '94 ini pun memberanikan diri untuk menggarap project bernilai total 200 juta tersebut, sehingga nama Spectra Multimedia pun lahir. “Gue bikin 12 tim yang satu timnya terdiri dari 3-4 orang anak UMB bahkan dosennya,” terangnya. Karena tidak puas dengan kerja tim tersebut, walhasil project tiga bulan itu digarapnya seorang diri.
Asap rokok yang dimainkan Yudi kala itu terus menari ke udara bersamaan semilirnya angin siang hari. Mataharipun dengan gagahnya menunjukkan kekuatannya. Kekuatan seperti itulah yang ditunjukkan Yudi dalam memainkan strategi pasar. Dengan dalih mendapatkan branding, Yudi membawa Spectra mengikuti lomba tingkat nasional yang diselenggarakan Depkominfo awal tahun lalu. Gelar juara yang diraih membawanya ke tingkat Asia Pasifik.  Sehingga nama Spectra Multimedia mulai diperhitungkan. “Menurut gue itu awal kesuksesan Spectra,” tuturnya sembari menenggak teh segar yang bongkahan esnya mulai mencair oleh panasnya matahari. Bukan suatu keberuntungan, karena keunikan software yang diciptakan menarik para juri saat itu. “keunikan software gue karena editable. Jadi user bisa mengganti-ganti konten aja sesuai keinginan,” ungkapnya santai. Kini, perusahaan itu menjadi salah satu pembuat software pendidikan di Indonesia.
Tiupan kencang angin tak menggoyahkan tubuh kecilnya. Mungkin karena beban telepon genggam yang lebih besar dari biasanya, mampu menahannya tetap di tempat. Tak banyak yang dapat mengira bahwa pria dua anak ini berasal dari Riau, karena gaya bahasa yang kental dengan logat Betawinya. Namun di daerah itulah ia menorehkan masa kecilnya. Sosok Yudi kecil memang belum memperlihatkan arah minat sesungguhnya. “Awalnya gue pengen jadi peneliti,” tuturnya. Bagi pria yang senang membaca buku psikologi ini, hidup di daerah mempunyai kelebihan tersendiri. Karena ia bersama teman-teman kecilnya mempunyai kebebasan untuk bermain dan mengenal budaya Indonesia lebih jauh. “Gue bersyukur bisa main di rumputan babi, main perang-perangan. Karena disitulah yang membuat kreatifitas gue jalan,” ungkapnya sambil menerawang masa lalunya. Seperti ingin agar tim Orientasi ikut masuk ke lorong waktu masa kecilnya, iapun mengandaikan suasana daerahnya seperti di film Laskar Pelangi. Nampaknya sukses penggambarannya.
Hidup di keluarga yang terbilang cukup, anak kedua dari lima bersaudara ini dahulu mengenyam dua pendidikan dasar sekaligus. “Karena Ibu orang NU (Nahdatul Ulama), makanya disekolahkan pula di madrasah Ibtida'iyah waktu sore harinya,” ungkapnya. Bekal agama yang diterimanya semasa kecil ternyata turut melengkapi jalan hidupnya. “Awalnya niat masuk elektro. Enggak tahu kenapa, malah terpilih di informatika. Gue pikir pasti Tuhan punya jalan lain yaudah gue jalanin aja,” imbuhnya. Tak terasa, sampah puntung rokok ternyata mulai membanjiri dak bersemen itu.
Kecepatannya berbicara memang seolah sedang mengamati rally Moto GP dengan Valentino Rossi sebagai  jagoannya. Beruntung dua makhluk tak bernyawa ini, puntungan rokok dan segelas teh manis, berhasil memberikan jeda untuknya, dan kembali bernostalgia. Yudi kecil yang mulai beranjak remaja itupun melanjutkan pendidikannya di SMPN 1 Riau. Kemegahan kota Jakarta yang membuat siapa saja terpanah oleh gemerlapnya kota metropolitan itupun turut mengenai hati Yudi. Hingga lulus SMP ia merantau bersama teman sejawatnya ke Jakarta. Tetapi apa daya, kualitas yang diharapkan lebih baikpun hanya dongeng belaka. Sebuah Sekolah Teknik Menengah (STM) di Kebon Jeruk dipilihnya sebagai tempat melanjutkan pendidikan formal. Namun, tak seformal sistemnya, iapun menjalani hari-hari sekolah dengan carut marut. “Datang, absen, cabut ke Gramedia,” tuturnya. Namun disanalah ia melihat surga dunia. “Gue baca banyak buku disana, apalagi buku-buku psikologi, agama, pergerakan,” tuturnya. Pengaruh besar kental terasa saat ia masuk ke ranah universitas.
UMB membawanya pada satu titik dimana ia menemukan kemampuan dirinya, dan mengembangkannya. Mengaku karena kecelakaan politis sehingga menjadi ketua himpunan mahasiswa teknik informatika (himti)  selama 1,5 periode ini, Sang perantau yang awalnya tidak biasa menghadapi orang justru 180 derajat berubah. Tanggung jawabnya saat itu yang mengharuskan ia berhadapan dengan beragam insan. Entah harus berucap syukur atau menyesal karena saat itu jurusan dimana ia bernaung sedang di ambang batas. “Jurusaan ini (informatika) ibarat janin yang hendak digugurkan oleh kampus. Cuma kita lahirkan kembali dengan cara bikin kegiatan,” kenangnya. Putar otak bahkan banting tulang mereka tak kalah seru dengan kebingungan seorang Ayah yang harus mencari nafkah bagi keluarganya. Mulai dari promosi jurusan Teknik Informatika hingga ke ujung Tangerang, sampai menghelat pameran karya-karya mahasiswa Informatika. Pengalamannya mengatur sistem, baik manusia maupun program, menghasilkan buah paling berharga bagi dunia kerja. “Di dunia kerja kita memantaince orang-orang di bawahnya, sulit kalau tidak terbiasa,” tambahnya. Mengenal karakter masing-masing orang juga menjadi bekal untuknya saat ini. Buku-buku psikologi serta sisi feminis yang dimiliki terbukti cukup mempunyai andil baginya. “Gue lebih sensitif dari kebanyakan cowok. Tapi karena sensitif itulah gue bisa mengetahui selera orang,” akunya.
Tak terasa adzan Dzuhur menyelimuti seantero komplek Kejaksaan kala itu. Kini sukses karier telah menemani hidupnya. Ucap syukur juga tersirat dari matanya yang tajam. Gelas yang telah kosongpun sudah terisi kembali. Ada satu pencerahan dari kata-kata yang terangkai dalam ucapannya, “menggila lah bersama dunia. Orang takut pasti kalah dengan yang berani. Orang berani pasti kalah dengan orang nekat. Orang nekat hanya bisa kalah dengan orang yang gila. Yang penting out of the box,” tutupnya. (Ayu Tri Lestari)

BALADA PEMIRA UMB 2011


BALADA PEMIRA UMB 2011

Pesta demokrasi tingkat universitas yang selayaknya menjadi representasi kedewasaan dan peradaban intelektualitas mahasiswa Mercu Buana belum mampu selamat dari kata 'bentrok' dan tepat peraturan. Pasalnya, saat pencontrengan terdapat beberapa kejanggalan dan keluhan terhadap KPU. Pemira ini pun berakhir pada kisah pilu pembacokan seorang kandidat presiden.

Akhirnya, setelah melewati serangkaian proses yang sempat tersendat, Universitas Mercu Buana menyelenggarakan Pemilihan Raya (Pemira) Mahasiswa 2011 pada Jum'at (17/06) lalu. Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terpilih pada 27 Mei lalu dirombak ulang oleh Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) karena dianggap tidak berhasil menampilkan demokrasi yang seharusnya. Alur pemira kini berjalan tanpa ada 'cerita' aklamasi karena KPU baru yang diketuai oleh Ahmad Fajrin, broadcasting '07, meloloskan dua partai, yaitu Partai Kebangkitan Mahasiswa dengan nomor urut satu dan Partai Kedaulatan Mahasiswa dengan nomor urut dua. Namun, sampai berita ini ditulis belum ada keputusan sah dari MPM mengenai siapa pemenang pemira sesungguhnya. Karena saat malam penghitungan suara, terjadi bentrok yang berujung pada tragedi berdarah.

Ironis, khidmatnya suatu proses demokrasi tampaknya belum bisa dinikmati di menara gading ini. Hal ini terlihat dari bentrok dan kerusuhan yang lumrah terjadi pada beberapa periode pemilu. Kali ini, lagi-lagi terjadi chaos antar partai yang bersaing memperebutkan singgasana Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)-Universitas.

Pada 17 Juni lalu, KPU membagi Tempat Pemilihan Suara (TPS) menjadi tiga titik. TPS 1 berlokasi di bata merah Gedung D untuk Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) dan Fakultas Teknik Perencanaan dan Desain (FTPD). TPS 2 untuk Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) dan Fakultas Teknik Industri (FTI) di Koridor B. TPS terakhir berada di koridor A untuk Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Psikologi (FPsi). Pencontrengan dimulai pukul 08.00 WIB sampai 16.30 WIB.

Pagi hari, Lukman Rudiansyah, Sistem Informasi '07, Calon Wakil Presiden (Cawapres) Kebangkitan yang ditemui sedang berada di TPS 2, mengungkapkan kekecewaannya pada KPU atas beberapa hal. Diantaranya mengenai pemilihan hari Jum'at untuk pencontrengan. Menurutnya hari itu tidak seramai Senin sampai Kamis, hingga audiensnya pun sedikit. Kedua, jumlah surat suara yang sediakan KPU hanya 2.500 lembar. Padahal ada sekitar 6.000 mahasiswa aktif UMB yang berhak memilih. Selain hari itu, pria yang akrab disapa Padang ini juga mengeluh akan minimnya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dari tiap partai di setiap titik TPS. “Pagi-pagi saja sudah ada kotak suara, dikhawatirkan ada penggelembungan suara,” keluhnya. Karena kotak suara belum tersegel dari pagi. “Kebetulan dari partai saya melihat (baca:kotak) belum disegel. Setelah diberi teguran baru disegel,” ungkap Danu Nomiselas, Teknik Mesin '07, Calon Presiden (Capres) Kebangkitan di tempat terpisah.

Kontras dengan Partai Kebangkitan, Ahmad Hafizudin, Akuntansi '07, Capres Kedaulatan memuji kinerja KPU yang ia rasa sudah sangat baik. Menurutnya, demokrasi berjalan sinergis, jujur, adil dan transparan. “Mungkin karena waktunya saja yang mepet,” ujar Hafiz di TPS 03. Menyoal jumlah surat suara, Hafiz memaklumi hal ini. Karena menurutnya, kejadian di tahun-tahun sebelumnya surat suara terpakai tak lebih dari dua ribu lembar. “Malah kurang dari dua ribu suara. Saya dengar dari tim saya, totalnya (baca:surat suara) sekarang 2.500 dan ini menyamakan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya,” jelas Hafiz.

Saat pencontrengan, KPU belum bisa memberikan keterangan untuk mengklarifikasi persoalan tersebut.  Setelah sempat menghilang beberapa waktu, Ahmad Fajrin memberikan keterangan mengenai jumlah surat suara. Pihaknya mengakui soal jumlah surat suara memang sempat simpang siur. KPU sudah merapatkan untuk mengeluarkan sebanyak 3.500 surat suara. “Surat suara yang sudah kita (baca: KPU) distribusikan dan yang kelar setelah sampai jam tujuh pagi itu sebanyak 2.500. Seribunya masih tertahan di tempat print karena masalah waktu,” jelas Fajrin.

Siang hari saat pencontrengan tengah berlangsung, sensitivitas antar massa pendukung partai cukup terasa. Dimana atmosfer ketegangan antar massa pendukung partai sebetulnya sudah terasa saat dua hari sebelum pencontrengan, yaitu pada prosesi debat kandidat. Bahkan Ketua KPU sampai  memindahkan lokasi debat yang semula di aula rektorat ke depan wall climbing sebagai antisipasi chaos. Seperti yang dikemukakan Fajrin pada Orientasi Rabu itu.

Seorang pendukung Kebangkitan, Angkasa Sankladiaz, broadcasting '09, mengeluhkan keberadaan simpatisan partai lawan yang ada di sekitar TPS. Ia mempertanyakan hal ini. Orientasi sendiri tidak melihat Panwaslu sigap menanggapi hal ini. Keberadaan Panwaslu pun sempat dipertanyakan.

Hal ini ditepis oleh Julian Al-Rasyid, ketua MPM yang menyatakan bahwa saat pencontrengan jumlah Panwaslu saat itu sebanyak 24 orang yang terdiri dari anggota MPM, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan partai.  

Selain itu, beberapa mahasiswa mengeluhkan sosialisasi pemira. Seperti yang diungkapkan mahasiswa Broadcasting '09, Lutfi Danovan, “Gue  tahu kalau ada pemira (baca: pencontrengan) dan dari pihak KPU seperti kurang sosialisasi. Karena hampir semua teman-teman yang tidak mengikuti UKM tidak mengetahui bahwa hari ini ada pemira. Tiba-tiba pas hari-H sudah ada pencontrengan saja.”

Kritik akan kurangnya sosialisasi pemira dimentahkan oleh KPU dan MPM. Fajrin atau yang biasa disapa Ipung, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi dengan tiga metode, yaitu pertama metode verbal, publikasi ke kelas-kelas. Menurutnya, anggotanya telah meng-cover hampir seluruh kelas dari gedung A sampai gedung E. “Bahkan sampai abang sendiri pun turun,” bantahnya. “Kedua, menempel-nempelkan. Jelas kita sudah memberitahukan,” tambahnya. Terakhir sosialisasi lewat media radio kampus. “Jadi kalau ada yang bilang kurang sosialisasi, ya tolong, janganlah berdusta,” imbuh pria asal palembang ini, geregetan.

Setali tiga uang dengan Ipung, Ketua MPM pun menganggap bahwa sosialisasi pemira 2011 inilah yang paling baik sejak 2005. “Sosialisasi jauh lebih besar dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Pertama MPM sudah memasang banner, KPU yang awal pun sudah melakukan proses sosialisasi. Kalau sosialisasi, tidak perlu jadi bahan perdebatan,” pungkas pria yang biasa dipanggil Ijung ini tenang.

Selain itu, ada pula kejanggalan pada prosedural perekrutan anggota KPU. Menurut Ijung, dalam AD/ART, anggota KPU adalah mahasiswa minimal semester 4. Namun saat pencontrengan, ada anggota KPU yang masih berstatus mahasiswa angkatan 2010, alias mahasiswa semester 2. Seperti yang Orientasi temui pada malam penghitungan suara di TPS 1. Karlina  anggota KPU yang bertugas mencatat hasil surat suara di TPS itu adalah mahasiswa Sistem Informatika angkatan 2010 yang mengenakan kemeja hitam, sama seperti yang dikenakan ketua KPU. Saat ditanya mengenai ini, Ijung kaget dan mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin. Justru ia menegaskan pada saya mungkin karlina anggota Komisi Panitia Pemungutan Suara (KPPS). Saat pemilihan, anggota KPPS adalah yang memakai almamater. Sedangkan anggota KPU mengenakan seragam kemeja hitam. “Mungkin saja saat itu dia gerah dan ganti baju,” pledoi Ijung.

Beragam persoalan di atas tidak menjadi tanda titik bagi konflik pemira tahun ini. Alur kisah pemilu ini semakin klimaks pada malam perhitungan suara. Setelah molor hampir dua jam dari jadwal yang ditentukan, penghitungan suara dimulai di masing-masing TPS dengan dihadiri 5 orang saksi. Masing-masing datang dari perwakilan partai kedaulatan, partai kebangkitan, KPU, KPPS, dan Panwaslu. Serta tak kurang dari dua orang satpam berjaga di tiap TPS. Namun tidak terlihat perwakilan Dirmawa pada malam itu. Hal ini disayangkan oleh Ijung sebagai ketua MPM. Menurutnya, seharusnya Dirmawa hadir minimal satu orang saja. Setidaknya itu bisa meminimalisir bentrokan.

Hasilnya, TPS 1 didominasi oleh Partai Kedaulatan dengan perolehan 369 suara, 171 suara untuk Partai Kebangkitan dan suara tidak sah berjumlah 45 suara. Hasil berbeda didapat di TPS 2. Partai Kebangkitan menang dengan perolehan 369 suara, mengalahkan 19 suara untuk Partai Kedaulatan. Sebanyak 80 surat suara tidak sah harus dibuang. Kontroversi terjadi di TPS 3 yang menjadi bakal bentrokan pada malam itu. Di TPS itu partai nomor 2 unggul dengan 415 suara dan  partai nomor 1 mendapat 86. Suara tidak sah sebanyak 111 suara, hingga total suara 612. Ketika data diverifikasi ternyata terdapat total surat suara yang dihitung jauh melampaui database yang semula dikatakan KPU berjumlah 523, ternyata hanya ada 323 suara yang ditandai dengan Stabilo dan spidol. Kejadian ini menuai pertanyaan kritis dari mahasiswa yang hadir di tempat itu. Setidaknya ada selisih 289 suara yang lebih. Belum selesai data diverifikasi ulang melalui absen, keadaan berubah ricuh.


Penghitungan yang berakhir ricuh
Ketua KPU menjelaskan kronologi yang terjadi pada malam itu. Menurutnya, awal kejadian ada yang memprotes KPU tentang ketimpangan suara. Ada yang menanyakan jumlah database pemilih dan juga menanyakan jumlah surat suara yang terpakai. “Jadi dia menanyakan hal-hal yang sekiranya ada di masa banding,” tutur Ipung. Masih menurut Ipung, jika ada yang ingin berkomentar mestinya dilakukan pada hari banding. Jadi tidak di hari-H.

Saat itu, saksi berhak memprotes atau mengkritisi surat suara yang sah atau tidak. “Tapi kalau mulai registrasi (baca: database) dan segala macam di luar itu, kami (baca: KPU) tidak boleh. Karena dari situ sudah mulai keluar dari koridor yang diharuskan,” jelas Ipung. Ia kembali bercerita, “Ketika dia menanyakan itu tiba-tiba segerombolan datang dan saya pun tidak mengenal gerombolan itu darimana,” tambahnya. Ia tidak ingin menjastifikasi siapa dan dari mana orang-orang itu berasal. “Yang pasti dia (baca: pemrotes) datang dengan tujuan baik, tapi caranya saja yang salah,” ungkapnya.

Ipung mengungkapkan bahwa pemrotes tersebut menggebrak bangku dan meja. Sampai akhirnya datang partai nomor dua dengan merayakan kemenangannya. Seketika itu terjadi gesekan. “Yang tadinya para pemrotes ini memrotes KPU dan akhirnya pecah. Langsung melempari bak sampah. Gue langsung lari, karena gak tahu siapa lawan dan siapa kawan,” tuturnya. Ia melihat banyak orang yang memegang batu dan balok untuk memukul siapa saja . Saat keadaan ricuh, ia keluar melewati gerbang di depan koridor A.

Bentrokan terjadi sekitar pukul 22.00 WIB. Ditemui di pos pengaman, Rommy mengaku telah mengantisipasi bentrok antar partai. Hingga terdapat dua orang petugas pengaman di tiap TPS. Pada malam kejadian, 12 orang satuan Pengaman (Satpam) tidak sanggup meredam aksi massa tersebut. kemudian, Ia menghubungi Polsek Kembangan untuk meminta bantuan menenangkan warga. Tetapi mereka tidak boleh memasuki wilayah kampus. Rommy menerangkan bahwa malam itu ia juga hampir bertengkar dengan warga. Karena warga ingin masuk kampus.

Anggota Kanit Intelkom Polsek Kembangan, Yusuf, membenarkan bahwa saat itu pihaknya datang ke UMB. Namun tidak masuk ke dalam kampus. “Sebatas di luar kampus,” jelasnya. Karena itu bukan wewenang pihak kepolisian. Jum'at malam itu, seluruh anggota kapolsek datang dipimpin Kompol Sutoyo sebagai Kapolsek, petugas berjumlah sekitar 24 orang, sempat hadir pula wakapolrek kebun jeruk. Ketika polisi datang sudah banyak batu berserakan. Pihaknya mengingatkan dan menghimbau warga dan mahasiswa agar tenang dan tidak ribut. Keadaan mulai kondusif sekitar pukul 00.00 WIB.
BentrokPart II   
Selesainya mediasi dengan polisi, rupanya tidak menyurutkan hasrat mahasiswa untuk bertarung. Dini harinya, sekitar pukul 02.00 WIB, ada serangan masuk dari pagar koridor A. diperkirakan sekitar 50 orang yang berusaha masuk. Namun mereka berhasil diusir satpam. Rommy melihat massa itu membawa balok dan kayu-kayu. Sayangnya, ada yang masuk dengan meloncati pagar. Karena orang yang terlalu banyak, satpam tidak mampu mengontrol keadaan tersebut. Massa langsung masuk ke dalam, dan satpam menelepon polisi kembali. Lagi-lagi petugas tidak berani masuk ke dalam kampus. Rommy menyebutkan massa tersebut hampir berjumlah seratus orang. Keadaan yang gelap menambah ketidakjelasan identitas massa. “Yang jelas (baca: massa) mahasiswa,” terang Rommy.

Ia menambahkan bahwa peristiwa itu berlangsung sebentar, tidak sampai sepuluh menit. Saat massa masuk ke dalam, Komandan Peleton (Danton) security ini berusaha menyetop massa yang lain. Peristiwa itu mengakibatkan Lukman, Cawapres nomor 1 menderita luka bacok samurai. Ditemui Orientasi di bata merah , Lukman menceritakan tragedi berdarah itu. Dini hari itu, ia bersama rekannya mahasiswa Fikom, Teknik Informatika dan Sistem Informasi serta alumni, yakni Hadi Saputra dan Yus Sangaji, yang tak lebih dari 20 orang, di bata merah mencoba mengklarifikasi masalah pada massa yang datang beramai-ramai agar tidak terjadi keributan. “Tapi mereka tetap kekeuh, dengan sudah membawa samurai, bambu, dan balok, mereka menyerang. Mereka maju, dan gue kabur ke bata merah kemudian turun ke atrium.”

Ia menceritakan, pada saat itu ia beberapa kali mencoba melarikan diri dari orang-orang yang berada di sudut atrium. Bersama seorang temannya mereka berdua mencoba menerobos massa. Setelah berhasil lolos, ia mencari alat untuk keselamatan diri. Bangku di stan psikologi menjadi tamengnya untuk menghalau samurai. Sempat menghalau serangan dua sampai tiga menit, “tiba-tiba belakang gue kena benda tajam, karena mereka makin banyak masuk ke dalam stand, gue jatuh disitu. Tameng gue cuma bangku putih.” Tidak lama, ia bangkit menghalau massa dengan kondisi tangan baret. Setelah itu ia lari ke tangga lab elektro, tapi ada kelompok itu lagi. Sampai ia dilindungi oleh Hafis, TI '07, alumni pun datang.

Akhirnya, ia dievakuasi lewat parkiran belakang oleh rekan-rekannya, Dimas, Chandra, Esa, dan Leo.  Lukman dilarikan ke rumah sakit Siloam, Jakarta Barat. Ia mendapat 16 jahitan di bagian belakang kepala, jari tangan, dan lengan. Dirmawa membiayai segala pengobatan korban bacok ini. Peristiwa tanggal 17 dan 18 Juni ini membuat pihak kampus membuat mediasi antar kedua belah partai yang bertikai. Rabu, Tanggal 22 Juni lalu digelar pertemuan yang dihadiri oleh Dirmawa yang diwakili oleh Endi Rekarti sebagai direktur, Rahman, Ghazaly Ama La Nora sebagai chief security, tokoh masyarakat Mahmud,  wakil lurah, FBR, Forkabi dan unsur-unsur kepemimpinannya dan pemuda-pemuda. Serta, kedua belah partai. Seperti yang dijelaskan oleh Ghazaly di Ruangannya Kamis (30/06) lalu .Menurutnya, sementara kasus Lukman ini ia pending terlebih dahulu untuk dilempar ke kepolisian. “Saya masih mampu menangani ini,” ujar Ghazaly. Ia mencoba menyelesaikan secara internal dahulu.

Sesuai surat edaran rektor mengenai penyelesaian kejadian tanggal 17 dan 18 Juni lalu, salah satunya adalah kedua belah pihak yang bertikai telah bersepakat untuk berdamai. Edwin Van Isak Maahalay, ketua Partai Kedaulatan, mengakui partainya telah berdamai. Pun dengan Billy, Capresnya, menegaskan bahwa sudah tidak ada pertikaian. Ditanyai mengenai kemungkinan massa pendukungnya yang melakukan penyerangan dini hari, ia pun tidak tahu sekaligus tidak bisa menjamin jika bukan partisipannya yang terlibat. Ia menerangkan bahwa saat chaos pertama terjadi, Ia ada di Bata Merah dan langsung pergi ke tempat temannya.

Mengenai mediasi, Lukman mengaku surat edaran rektor yang dipajang di mading-mading kampus, redaksionalnya berubah dan baginya itu tidak lengkap seperti mediasi yang dihadirinya di Saung Abah, Rabu lalu. Ia menyayangkan saat itu pihaknya tidak ada yang mencatat. Lukman mengatakan bahwa dia memberikan waktu selama dua minggu setelah kejadian bagi kampus untuk menyelesaikan kasus penyerangan atas dirinya.  “Sampai saat ini, kasus saya masih digantung. Tidak ada kejelasan..susah banget mencari keadilan di kampus ini” keluh pria berambut panjang ini. Merasa kecewa, Jum'at (01/07) lalu, Lukman telah melakukan visum di rumah sakit Siloam dengan surat pengantar dari polsek Kembangan untuk keperluan aduannya ke polres nanti. Menurut Cawapres kebangkitan ini, kasus ini sempat dilempar oleh kapolsek Kembangan karena ruang lingkup universitas sudah masuk kepada tingkatan yang lebih besar, yaitu polres. Namun, sesampainya di polres Jakarta Barat, kasusnya dinilai sudah cukup lama dan basi.

Akhirnya ia tetap membulatkan tekatnya untuk melimpahkan kasusnya ke pihak yang berwajib. Karena baginya, kampus seolah menutupi dan tidak mau membuka kasus ini lebih jauh. Belum ada tindakan tegas dari kampus untuk mencari dan memberi sanksi pada pelaku. Rabu (06/07) lalu, Lukman menunjukkan surat laporannya pada kapolres atas kasus “pengeroyokan” pada Orientasi.

Kisruh Pemira tahun ini merupakan yang terbesar sekaligus dengan kerusakan yang paling sedikit. Itulah yang dinyatakan oleh Rommy, petugas keamanan. Berbagai pihak sangat menyayangkan peristiwa yang mencoreng pesta demokrasi ini. Mulai dari para kandidat, security, KPU, MPM, mahasiswa-mahasiswa UMB, sampai kepolisian.  Mengutip salah satu dari harapan-harapan untuk pemira selanjutnya, Ipung, ketua KPU berharap,“semoga, siapapun yang terpilih nanti bisa menjadikan UMB lebih baik.”
Dewi Ananda dan Yogarta Awawa

 
Edited Design by Ali Nardi | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes